Petak Umpet Minako Tetap Jadi Permainan Anak-anak

by Irna Gayatri

Petak Umpet Minako Tetap Jadi Permainan Anak-anak
EDITOR'S RATING    

Jangan bermain-main dengan arwah.

Billy Christian agaknya ingin memastikan namanya sebagai sutradara film horor Tanah Air. Setelah Tuyul Part 1 dan Rumah Malaikat, sineas ini kembali meramaikan industri perfilman Tanah Air dengan Petak Umpet Minako. Setelah cukup lama hanya bercokol di daftar film yang akan datang, akhirnya film produksi Nimpuna Cinema, bekerja sama dengan penerbit Rak Buku, ini akan dirilis pada 7 September 2017 serentak di 55 kota.

Tak cukup bermain-main dengan horror thriller di Rumah Malaikat, Billy kali ini menghadirkan genre survival horror yang tidak melibatkan pembunuh berdarah dingin atau mayat hidup, melainkan arwah yang bermain-main dengan manusia.

Hitori kakurenbo adalah permainan petak umpet dari Jepang yang melibatkan arwah. Karena itu, tentu saja ada ritual pemanggilan arwah yang dilakukan pada awalnya. Arwah inilah yang nantinya mengejar para pemain ini. Begitulah kira-kira tema besarPetak Umpet Minako yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Manhalfgod ini.


Hitori kakurenbo mungkin dianggap hanya mitos atau urban legend oleh banyak orang, namun Billy kembali membuktikan dia bisa mengangkat mitos dengan cara yang menarik ke layar lebar. Ditambah boneka ichimatsu yang menjadi mediumnya, Petak Umpet Minako memiliki dasar yang kuat untuk menjadi survival horror yang mencekam. Namun, hanya mengandalkan arwah yang mengutuk dan mengejar-ngejar manusia mungkin kedengaran membosankan. Karena itulah, ada kejutan lainnya yang menunggu dalam film.

Pada dasarnya, Petak Umpet Minako dapat dikatakan cukup niat. Beberapa adegan terlihat realistis. Latar yang tak berlebihan, pencahayaan yang pas—tak terlalu gelap dan tak terlalu terang, sampai make-up semuanya mendukung fondasi awal film survival horror ini. Efek CGI juga jadi salah satu aspek penting yang membuat beberapa adegan terlihat cukup hidup. Pergerakan kamera yang dinamis juga cukup berhasil membangun ketegangan yang dbutuhkan. Sayangnya, hal ini tak dimulai lebih awal.

Petak Umpet Minako adalah film yang terlambat start. Meski telah membuat adegan pembuka yang cukup mengundang rasa penasaran untuk mengikuti filmnya sampai selesai, plot hole terbesar malah ditemukan setelahnya. Reuni SMA berakhir dengan buruk karena sebuah permainan. Namun, film ini melewatkan permulaannya dan malah langsung mengajak penonton melihat ketegangan yang, meski berhasil dibangun dengan teknik pengambilan gambar dan latar yang sesuai, tak berhasil ditampilkan oleh para pemerannya. Hasilnya, film ini justru sangat lemah di awal dan bisa jadi membuat kita tidak ingin mengikuti jalan cerita setelahnya.


Pertemuan demi pertemuan semakin membuat film ini terasa lambat dan alurnya dipaksakan. Ketegangan di awal yang coba dibangun dengan aksi kejar-kejaran tak berhasil menimbulkan rasa ngeri. Ternyata, Billy menggunakan gaya penceritaan kilas balik untuk menjelaskan plot hole yang langsung ditemukan di awal film tadi. Namun, plot hole tetaplah plot hole yang bisa memengaruhi mood untuk menikmati film.

Film ini juga kurang gereget sebagai survival horror. Miller Khan yang berperan sebagai Baron Wendy, karakter terkuat dalam film, terlalu banyak memiliki dialog tak penting, begitu pula karakter lainnya. Dialog sebenarnya penting untuk membangun watak karakter, namun bisa juga jadi masalah jika dialog yang ditampilkan tidak tepat waktu dan sasaran. Beberapa bagian jadi terasa kurang gereget karena seharusnya bisa langsung dieksekusi, namun terpotong dialog yang bertele-tele. Selain itu, meski latar tempatnya cukup niat, peralatan mempertahankan diri yang ditemukan di gedung sekolah tua luput dari detail. Jika diperhatikan, semuanya masih baru dan bersih, tak kelihatan seperti baru saja ditemukan setelah tak digunakan bertahun-tahun.

Untungnya, Miller cukup mumpuni memerankan karakter pria yang datang ke sebuah lokasi ‘berbahaya’ untuk menyelamatkan kekasihnya, Gaby, yang diperankan oleh Wendy Wilson. Wendy Wilson juga berhasil membangun suasana survival horror ini. Selain itu, akting Nicky Tirtayang berperan sebagai Randy—di akhir film juga patut diacungi jempol. Jadi, bisa dibilang, hanya tiga karakter itu yang wataknya terlihat dengan baik. Sisanya,  akting yang tidak pas membuat yang lainnya terlihat seperti sedang memainkan permainan anak-anak biasa. Ketakutannya tak tersampaikan, ketegangannya pun biasa saja. Petak Umpet Minako akhirnya tetap terasa seperti permainan anak-anak.


Untuk sebuah film survival horror, Petak Umpet Minako masih terlalu lambat dalam membangun ketegangan demi ketegangan. Terlalu banyak dialog yang tak penting di beberapa bagian. Namun, melihat sinematografi yang berhasil dihadirkan dalam film ini,  Billy pasti bisa menggarap film lain dengan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih dalam, dan tegangan demi tegangan yang dibangun dengan tempo yang pas. Tentu saja pemilihan cast juga menjadi sangat penting dalam film selanjutnya.