Mariposa: Chemistry Zara-Angga Menyelamatkan Film Ini Dari Keabsurdan

by Takdir

Mariposa: Chemistry Zara-Angga Menyelamatkan Film Ini Dari Keabsurdan
EDITOR'S RATING    

Cinta itu sederhana. Yang rumit, orang dewasa dan kemewahannya

Nama Adhisty Zara memang terus menanjak, semenjak memerankan Euis dalam Keluarga Cemara (2018), penampilannya dalam Dua Garis Biru (2019) membuat banyak penonton Indonesia menyukainya. Apalagi dalam film yang bertemakan “aku hamil duluan” ala Tuty Wibowo (cari deh lagunya di YouTube, jangan kuper), dia dipasangkan dengan Angga Yunanda.

Dalam Mariposa, Zara dan Angga kembali jadi pasangan utama. Bedanya, kali ini Angga tidak dicoklatkan kulitnya supaya terlihat ndeso. Kisah Zara menjadi Acha yang naksir berat Iqbal (Angga) sampai pada tahap maksa dan menyebalkan menjadi premisnya. Sudah bisa ditebak, Iqbal yang tadinya sedingin kulkas dua pintu, akhirnya meleleh juga. Yah, sejenis plot halu drama Korea tapi “wajar” untuk level anak SMA yang kisah cintanya sederhana aja, jatuh cinta karena suka bukan karena jutaan alasan ribet.

Kedua tokoh utama ini dikisahkan berotak encer dan menjadi anggota tim sains sekolah. Sudah bisa ditebak di sinilah konflik dimulai, ketika Iqbal yang kesal lambat-laun melihat Acha yang juga pintar dan puncak konflik hubungan mereka pun terjadi saat babak Olimpiade Sains SMA.


Sayang, latar belakang kedua tokoh kurang kuat. Ibu Acha yang ditampilkan suka musik dan film Korea Selatan tidak ada hubungannya dengan plot. Ibunya jadi ilmuwan NASA pun sebenarnya bisa saja. Apalagi subplot ayah Acha di Korea Selatan juga semakin tidak nyambung dengan cerita utama. Terkesan tempelan saja. Apalagi Ayah Iqbal (Ariyo Wahab) yang galak dan ambisiusnya minta ampun, pengen anaknya dapat beasiswa ke Bristol, Inggris, belajar Aeronautika. Tidak jelas kenapa ngeyel banget pengen dapet beasiswa, apa karena gengsi? Kenapa juga Aeronautika, bukan Biologi Molekuler? Tidak jelas.

Melihat kehidupan Iqbal yang bergelimang harta sepertinya Iqbal yang mondar mandir sama motor Royal Enfield tidak akan kesulitan kuliah di mana pun. Jadi kenapa butuh beasiswa? Padahal sang ayah tidak dikisahkan sebagai jenis ayah yang mengejar gengsi. Akan lebih masuk akal kalau ayahnya Iqbal adalah tukang nasi goreng gerobak yang ngeyel anaknya dapat beasiswa sebab dia tidak mampu membayar kuliah. Kegalauan Iqbal yang dipaksa ayahnya untuk pintar dalam sains juga kurang terasa “masuk akal” dan mengingatkan saya akan kegalauan Angkasa dalam Nanti Kita Cerita Hari Ini yang masalah hidupnya “cuma” ngejagain adik-adiknya dan menutupi rahasia yang “yah gitu doang?”. Yah maklum kalau ini adalah masalah orang kaya yang sandang, pangan, dan papannyna tercukupi.


Kemewahan dalam film ini sama sekali tidak nyambung dengan ceritanya, dari dapur yang terlalu bersih, kamar Acha yang seperti showroom kamar tidur dan tentunya perabot rumah Iqbal yang IKEA. Padahal ini bukan kisah Marimar jatuh cinta pada Sergio, ini hanya kisah anak SMA yang sebenarnya bisa saja pakai SMA “biasa”, tapi entah kenapa malah SMA mewah dengan seragam super rapi.

Tetapi, semua keabsurdan ini terselamatkan oleh akting Zara dan Angga yang alami dan harap diingat, pangsa pasar film ini adalah remaja yang gak ambil pusing kenapa kalo kamu punya motor Royal Enfield dan rumah mewah di BSD masih sedih. Setidaknya kamu nangis di motor Inggris mahal, bukan di bajaj bau asap knalpot ya nggak? Yang penting premis “cinta harus dipaksa terus sampe jadi” terwujudkan dan itu sah-sah saja untuk sebuah hiburan. Tapi, itu film ya. Di dunia nyata, kalau kamu usianya 30-an dan maksa PDKT sama lawan jenis, yang ada kamu bakal di-block.