Mengharapkan visual, kita akan puas. Mengharapkan pertarungan, hati-hati kecewa.
Pada saat pembuatannya, Dune garapan Denis Villeneuve ini membuat para penggemar film terpukau karena banyaknya bintang yang bergabung dalam proyek ini. Setelah banyak sineas yang gagal mengubah materi novel ini ke layar lebar, kini sutradara Arrival ini mencoba peruntungannya. Villenueve sendiri dikenal sebagai sutradara yang mampu menghasilkan film-film dengan visual yang memukau dan dialog penuh falsafah.
Besarnya cakupan proyek ini membuat banyak bintang yang tertarik untuk bergabung. Buktinya, ada Jason Momoa, Zendaya, Timotheé Chalamet, Oscar Isaac, Rebecca Ferguson, Stellan Skarsgard, Javier Bardem, Dave Bautista, dan Josh Brolin. Dengan melihat nama-nama ini, bisa dibayangkan akan seperti apa film ini. Namun, apakah mereka efektif?
Tidak salah lagi, Dune bagian pertama ini menampilkan visual yang benar-benar megah. Villenueve dan tim desain produksinya patut diberi penghormatan karena berhasil menggambarkan kebudayaan tiap House dengan megah. Visualnya bisa membuat kita terpana dengan detil yang memukau. Mereka dengan terampil membuat tiap House memiliki peradaban sendiri yang khas. Mata penonton serasa dimanjakan saat melihat dunia yang sangat indah di layar. Mungkin, jika Villeneuve suatu saat diberi kesempatan untuk menyutradarai Star Wars, hasilnya akan mencengangkan.
Banyaknya nama besar yang bergabung membuat kualitas akting para pemainnya tidak perlu diragukan lagi. Tiap pemeran bisa memberi ciri khas tersendiri pada karakter mereka sehingga tidak ada yang terasa sebagai tempelan. Chalamet sendiri kalau dilihat dari segi postur rasanya kurang pas untuk menjadi seorang kssatria. Tapi, wajah sendu dan seakan menanggung beban berat membuat ia cocok menjadi Sang Terpilih.
Tiap aktor mungkin memainkan karakternya dengan bagus tetapi ada beberapa hal janggal yang bisa ditemukan dalam film ini. Pertama, pemilihan Rebecca Ferguson sebagai Lady Jessica yang merupakan ibu Paul Atreides (Chalamet). Hubungan keduanya tidak seperti ibu dan anak, malah seperti tante dan keponakan. Dingin dan canggung. Lalu, perbedaan umur yang tidak cukup jauh membuat penonton agak sulit membayangkan Chalamet beribukan Ferguson walau sudah dibuat tampak 10 tahun lebih tua.
Kejanggalan kedua adalah buruknya koreografi pertarungan di film ini. Kontras dengan visual ledakan dan tembakan pesawat yang memukau, perkelahian jarak dekat mereka terlihat kedodoran. Adegan pertarungan zaman sekarang sudah semakin cepat, brutal, mematikan, seperti John Wick dan The Raid, tetapi pertarungan di film ini tampak seperti aksi film-film '90-an. Tentunya, tidak sulit menyewa fighting choreographer yang mumpuni.
Panjangnya durasi film ini mungkin adalah langkah yang bagus agar semua detil penting yang ada di buku bisa ditampilkan dengan maksimal. Hanya saja karena ini baru bagian satu, menjelang akhir film, tensi ketegangan menjadi turun dan mulai terasa bosan. Namun, melihat apa yang sudah disajikan, rasanya layak untuk ditunggu bagaimana Denis Villeneuve menyelesaikan Dune menjadi sebuah film yang utuh. Semoga lebih banyak perang besar dibanding aksi perkelahian yang mengecewakan.