Don’t Breathe 2: Sekuel yang (Sayangnya) Tidak Perlu Ada

by Prima Taufik

Don’t Breathe 2: Sekuel yang (Sayangnya) Tidak Perlu Ada
EDITOR'S RATING    

Gore, tapi kita tetap bisa breathe

Sudah pakemnya jika film yang penuh kekerasan, tapi ada karakter anak kecil maka hasilnya akan tanggung ke mana-mana. Di satu sisi, ada aktor cilik yang perlu dibatasi aksinya agar tidak berlebihan. Di sisi lain, ada penonton dewasa yang perlu dipuaskan dengan aksi yang sebagus mungkin. Jika dipaksakan, hasilnya karakter anak tersebut malah akan menjadi aneh. Ini terjadi pada banyak film dan sekarang Don’t Breathe 2 mengalaminya. 

Film pertama yang menegangkan menjadi film tidak jelas yang hanya penuh aksi gore di jilid kedua ini. Bahkan, demi menyuguhkan aksi yang membuat penonton menahan napas, sang aktor cilik melakukan hal-hal yang tidak lazim dilakukan anak seusianya. Ini bisa dibilang membodohi intelektualitas penonton walau berusaha dibuat dengan latar belakang sealami mungkin.

Masih diperankan oleh Stephen Lang sebagai pria tua buta, Norman Nordstrom, film ini mengambil rentang kisah pada masa beberapa tahun setelah film pertama. Kali ini, Nordstrom,hidup bersama seorang anak kecil yang ia pungut saat pingsan di jalan. Pria ini memang terobsesi dengan anak-anak sehingga merawat Phoenix dengan sangat disiplin. Namun, masalah kembali muncul yang membuat Norman harus kembali memakai kekerasan.

Kelebihan yang membuat film pertamanya memukau adalah suasana tegang yang mencekam saat karakter harus menahan napas agar tidak ketahuan oleh Norman. Tapi, di sini keadaan jadi berbalik karena Norman-lah yang menjadi bulan-bulanan. Sedikit sekali aksi kucing-kucingan terjadi antara karakter utama dan si penjahat. Bahkan, boleh dibilang tidak ada aksi yang bisa membuat penonton menahan napas sama sekali di film ini. Yang ada, hanyalah aksi brutal yang memperlihatkan kekerasan dengan intens. Memang seru dan membuat beberapa penonton menjengit ngeri, tapi bukan itu yang mereka cari saat membaca judul Don’t Breathe di poster film. 


Jika bukan mengusung judul "Don’t Breathe" di judulnya, film ini sebenarnya termasuk film aksi gore yang lumayan. Ceritanya cukup sederhana, tapi ada sedikit unsur kejutan di dalamnya. Namun, ekspektasi penonton tentu bukan itu. Sudah banyak film aksi brutal serupa di pasaran. Penonton ingin dibuat menahan napas sehingga lupa popcorn yang sedang dipegang, bukannya meringis melihat darah dan bagian tubuh yang berceceran. 

Untungnya, film ini memberi konklusi yang jelas. Semua terjawab dan menutup semua kisah. Dalam hati mereka, para sineas yang terlibat mungkin tahu jika film ini akan semakin tidak jelas jika dilanjutkan. Sekali lagi, ini bukan film yang buruk, tetapi sekuel yang seharusnya tidak perlu dilanjutkan.