Sisi lain perang dari kacamata jurnalis
Sudah banyak film yang menggambarkan tentang kekejaman perang, mulai dari perang Irak, Afghanistan, hingga perang Vietnam. Kebanyakan, film tersebut menggambarkan kedigdayaan Amerika dalam menghadapi musuh-musuhnya di tanah asing, terlepas apakah mereka menang atau kalah. Namun, kali ini, A24 mengangkat kisah tentang perang yang sedikit berbeda, yaitu Perang Sipil. Amerika sendiri pernah mengalami Perang Sipil pada tahun 1861 hingga 1865 yang memecah negara ini menjadi dua bagian, Utara dan Selatan. Andy Garland sebagai sutradara dan penulis naskah agaknya ingin menghadirkan gambaran: bagaimana jika seandainya perang sipil kembali terjadi di Amerika modern? Namun, kali ini, sudut pandang yang digunakan adalah jurnalis.
Fotografer perang Lee Smith dan rekannya Joel berencana pergi ke Washington D.C. untuk mewawancarai Presiden Amerika tiran yang sudah menjabat selama tiga periode. Dalam perjalanannya, Lee menyelamatkan seorang jurnalis foto muda, Jessie Cullen, dari bom bunuh diri di Brooklyn. Bersama sang mentor, Sammy; Lee, Joel, dan Jessie berangkat dari Brooklyn menuju Washington. Sepanjang perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai orang yang memperlihatkan sisi kejam sebuah perang sipil, saat teman bisa menjadi lawan dan dibunuh atau membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai pers, mereka dilarang untuk ikut campur dan hanya bisa memberitakan dengan netral. Sesuatu yang membuat hati nurani siapa pun pasti akan menderita.
Dengan suasana sunyi, tapi tingkat ketegangan yang tinggi, Civil War berhasil membawa penontonnya ke suasana perang modern. Betapa perang itu kejam, tapi lebih kejam lagi adalah perang saudara saat musuh kita adalah saudara setanah air kita sendiri. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan mereka yang berbeda ideologi dan pandangan. Itulah yang terasa tergambarkan melalui film Garland ini. Menariknya, sudut pandang yang diambil adalah melalui kacamata jurnalis foto yang kerap melihat kekejaman perang dengan mata kepala sendiri dan dalam jarak dekat, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya karena mereka harus bersikap netral. Itu semua dihadirkan melalui gambar-gambar yang powerful dan seringkali membuat kita miris. Banyak capture dari kamera Lee dan Jessie yang ditampilkan dalam bentuk hitam-putih. Indah, tapi brutal.
Dari segi akting, Kirsten Dunst (Lee), Wagner Moura (Joel), dan Cailee Spaeny (Jessie) jelas menjadi ujung tombak film ini. Sebagai mentor-anak didik, chemistry Lee dan Jessie yang terbentuk dalam perjalanan menuju Washington D.C. terlihat mengalir dan tidak dipaksakan. Spaeny pun berakting dengan baik sebagai Jessie yang bercita-cita menjadi jurnalis foto, namun harus siap menghadapi kenyataan bahwa perang tidak "sebersih" yang ia bayangkan. Tapi, satu sosok yang sangat mencuri perhatian dan mungkin akan terus diingat aktingnya bahkan setelah film berakhir adalah Jesse Plemons. Aktor yang juga suami Dunst di kehidupan nyata ini memerankan karakter militan ultranasionalis rasis. Seperti apa aktingnya yang dijamin bikin kita menjerit kaget? Kalian harus tonton sendiri.
Selain dari segi visualisasi, sound juga menjadi bagian penting dari film ini. Garland tahu kapan waktu yang tepat untuk menaruh situasi sunyi yang menyayat, tapi juga tidak "malu-malu" memakai lagu yang kental dengan nuansa Amerika di beberapa adegan. Menyaksikan film ini di layar terbesar dengan sound terbaik jelas bisa menjadi pilihan jika ingin menikmati Civil War dengan "khusyuk". Untuk kalian penyuka film-film perang ataupun penyuka jurnalisme foto, film terbaru A24 ini jelas wajib untuk ditonton.