Ilusi found footage yang dibangun di awal, buyar di tengah jalan.
Dengan kesuksesan trilogi Danur dan beberapa film spin off-nya, MD Pictures memutuskan untuk memperluas Risa Saraswati Universe yang mereka miliki. Setelah buku dan karakter yang difilmkan, kini giliran kanal Youtube berjudul Jurnal Risa yang diadaptasi ke layar lebar. Jika sebelumnya berfokus pada karakter Risa dan entitas yang ada dalam bukunya, kali ini mengisahkan perjalanan tim Jurnal Risa dalam mengunjungi tempat angker dan harus berhadapan dengan sebuah entitas yang paling ditakuti saat salah seorang peserta memanggilnya dengan sengaja. Menggunakan gaya found footage, karya Rizal Mantovani ini mencoba menyajikan keseraman dalam bentuk berbeda.
Tim Jurnal Risa mengunjungi sebuah tempat angker di Subang dengan membawa tiga peserta untuk uji nyali, salah satunya Prinsa Mandagie. Di tengah uji nyali, Prinsa yang penasaran ingin melihat hantu memutuskan menyebut satu nama yang paling ditakuti oleh tim Jurnal Risa. Prinsa pun kesurupan dan acara uji nyali pun dibatalkan. Selang beberapa hari kemudian, dua tim Jurnal Risa, yaitu Angga dan Indy, memutuskan mendatangi Prinsa untuk melihat kondisinya dan melakukan ritual pembersihan karena mereka yakin bahwa entitas ini masih menempel di tubuh Prinsa. Dugaan mereka benar dan situasi menjadi kacau. Saat ditelusuri oleh Risa, diketahui bahwa Prinsa "ketempelan" Uwa Satirah, sosok yang namanya tidak boleh disebut dan punya masa lalu kelam. Tim Jurnal Risa pun harus berpacu dengan waktu sebelum raga Prinsa diambil alih oleh Uwa sepenuhnya.
Jurnal Risa by Risa Saraswati memiliki potensi untuk menjadi salah satu film found footage yang bagus, seperti halnya Keramat. Salah satu faktor yang melatari kemungkinan itu adalah pemain-pemainnya yang bukan aktor atau aktris terkenal, dalam hal ini dipakailah tim asli Jurnal Risa agar terkesan nyata. Memakai nama-nama populer di film bergenre found footage jelas malah membuat filmnya terasa settingan. Tapi, orang-orang yang tidak kita kenal akan membuat apa yang kita tonton terasa real, sebut saja Blair Witch Project atau Paranormal Activity. Sayangnya, kelebihan itu rupanya tidak dimanfaatkan oleh Jurnal Risa dengan baik. Kita bahas ini nanti lebih lanjut.
Lima belas menit pertama terasa menjanjikan. Suasana seram dibangun dari POV kamera tim JR. Namun, setelah Prinsa kesurupan dan dibawa pulang, alur cerita yang rapi mulai kedodoran. Lele Laila selaku penulis naskah rupanya tidak yakin bahwa penonton akan takut jika sepenuhnya memakai genre found footage sehingga ia pun mencampurnya dengan adegan film feature. Jadi, jangan kaget kalau di tengah-tengah film, ada angle kamera yang kita tahu tidak disorot oleh tim JR sendiri. Tidak hanya itu, dimasukkan juga musik khas horor untuk menggedor jantung. Munculnya musik ini tentu membuyarkan feel found footage yang berusaha dibangun sejak awal. Seandainya memang difokuskan untuk menjadi film full found footage dengan POV dari kamera kru dan sunyi, niscaya film ini tetap menyeramkan. Biarkan penonton kaget karena suara-suara alami atau penampakan sekilas.
Tidak hanya itu, naskahnya juga terasa bingung dalam menjelaskan sosok entitas ini. Di satu adegan, tim JR yakin bahwa ini entitas bernama Uwa Satirah yang selama ini mereka kenal. Tapi, di adegan lain, disebutkan bahwa ini bukan Uwa Satirah dan bisa jadi merupakan sosok lain. Namun, tim JR malah diminta pergi ke desa tempat Uwa dulu tinggal untuk melakukan upacara pengikatan agar si sosok bisa dibuang dari tubuh Prinsa. Saat bertemu dukun sakti di sana dan bertanya apakah ini Uwa atau bukan, si dukun tidak bisa menjawab. Jadi, manakah yang benar?
Seperti sudah disebutkan di atas, found footage akan terasa nyata jika memakai aktor-aktris non-bintang sebagai pemainnya. Namun, dengan catatan, akting mereka memang bagus. Sayangnya, itu tidak terjadi di sini. Meski sudah sering melihat dan menghadapi kejadian gaib di kanal Youtube-nya, namun akting Risa Saraswati dan tim JR terasa kaku. Bahasanya pun terlalu baku dan scripted untuk sebuah film yang dibuat seperti rekaman kejadian sehari-hari. Bahkan, Prinsa Mandagie tidak terlalu meyakinkan sebagai orang yang kesurupan. Tidak hanya itu, beberapa adegan terasa tidak masuk akal dan kurang natural, salah satunya adegan Indy terjebak dengan Prinsa yang kesurupan di dalam kamarnya. Bahkan, entah kenapa tidak terasa ada rasa panik atau urgensi saat situasi Prinsa semakin parah. Yang cukup disayangkan lagi, meski mengusung nama Risa Saraswati sebagai judul, tapi bisa dibilang, perannya di film ini tidak begitu besar. Mungkin total hanya 1/4 saja, sementara sisanya lebih fokus pada tim JR.
Memang, membuat genre found footage itu (konon) tidak mudah. Banyak yg perlu dipersiapkan dan rehearsal berkali-kali karena pergerakan pemeran dan kamera harus dibuat sealami mungkin. Namun, dengan tingkat kerumitan tinggi, bukan berarti beberapa adegan "dimudahkan saja" dengan dibuat menjadi film feature karena ilusi yang sudah terbangun dari awal akan buyar seketika. Jurnal Risa sayangnya terjebak dalam situasi itu. Jika suatu saat akan ada sekuelnya, mungkin bisa dipertimbangkan untuk menghadirkannya dalam bentuk full found footage, tentu dengan naskah yang lebih matang dan akting yang lebih natural.