Isu kesehatan mental jadi semakin relate lewat film ini
Satu hal yang menyenangkan dari perkembangan film di Indonesia adalah adanya rumah produksi yang didirikan generasi muda dengan tema cerita yang semakin bervariasi. Satu contohnya, Sinemaku Pictures yang beberapa kali mengangkat isu kesehatan mental sebagai fokus utama. Cukup berani karena memberi angin segar di genre drama. Akan tetapi, bisa juga jadi tema yang repetitif dan sekadar ‘ingin bersuara’ alih-alih menunjukkan cerita yang solid. Tahun ini, Sinemaku sudah merilis 2 film. Salah satunya yang tayang mulai 17 Oktober, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis (BSSK).
BSSK diinspirasi dari lirik lagu ‘Runtuh’ yang dinyanyikan Feby Putri ft. Fiersa Besari. Film ini berfokus pada kehidupan Tari (Prilly Latuconsina), karyawan swasta yang ‘terjebak’ di rumah dengan ayah (Surya Saputra) yang abusif. Sejak kecil, Tari dan ibunya (Dominique Sanda) harus menahan diri agar tidak menjadi sasaran kemarahan dan pukulan. Perlakuan di rumah membuat Tari jadi people pleaser yang selalu menghindari konflik. Satu-satunya safe haven Tari adalah ikan mas koki bernama Sucipto yang dulu dibelikan sang ibu serta support group yang rutin Tari datangi. Saat Tari bertekad ingin kabur dari rumah bersama sang ibu, ia dibantu Baskara (Pradikta Wicaksono), mantan atlet basket sekaligus teman kantornya yang gampang marah.
Oertama-tama, film garapan Reka Wijaya ini memiliki rating 17+. Pilihan yang tepat karena ada banyak adegan dan suara yang memicu emosi atau trauma penonton terutama di awal film. Isu KDRT yang dialami Tari dan ibunya cukup banyak disorot, membuat penonton ikut merasakan lelah, takut, dan rasa waspada setiap ia pulang ke rumah. Cast di film ini sebenarnya cukup banyak, sayang, perkenalan karakter dan masalah-masalahnya hanya dibuka di awal. Tidak ada yang digali lebih dalam karena kisah selanjutnya hanya berputar di antara Tari dan Baskara, percintaan keduanya, dan konflik yang ada di dalam keluarga masing-masing. Kisah dan konflik keluarga Baskara pun tidak terlalu digali.
Support group yang cukup serius menyita perhatian di awal film juga makin lama hanya terasa seperti tempelan. Hadirnya Widi Mulia sebagai Nina, psikolog sekaligus konselor di support group juga tidak terlalu kuat. Padahal, ia bisa dijadikan sosok ‘perekat’ buat semua karakternya. Poin plus untuk akting Kristo Immanuel yang berperan sebagai Agoy. Sesi konselingnya, meski cuma sebentar, bisa mencolek rasa haru. Akting nangisnya paling alami. Tepuk tangan paling kencang wajib diberikan ke Surya Saputra terutama di sekitar 10 menit terakhir. Ditambah lagi saat beradu akting dengan Prilly di bagian ending yang memperlihatkan kemampuan akting keduanya yang mumpuni. Diamnya ayah-anak ini justru memberi damage yang besar.
Sebagai film yang tujuannya membuat kita sadar akan emosi dan segala rasa dalam diri, BSSK bisa dibilang cukup berhasil. Film ini tidak cuma fokus memperlihatkan keluarga yang berantakan atau anak yang kabur dari rumah. Ada sebab-akibat yang diperlihatkan sehingga kita jadi tahu beberapa kemungkinan yang terjadi dan apa saja yang membuat seseorang bisa memiliki sakit mental. Ada ayah yang sering marah karena dia sendiri pun sebenarnya belum paham bagaimana menghadapi masalah. Ada anak yang terjebak ekspektasi di kepalanya sendiri, padahal keluarganya tidak pernah menuntut apa-apa.
Overall, film ini bisa menjadi refleksi kita dalam menghadapi isu yang ada di dalam diri dan keluarga. Tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada pula keluarga yang tidak memiliki masalah. Hadirnya BSSK bisa jadi sebuah oase dan ‘pelarian sehat’ untuk kita yang selama ini bersembunyi atau menghindar, alih-alih menghadapi dan menyelesaikan masalah. Menangis tentu boleh, bersedih juga manusiawi. Tapi, jangan takut untuk hadapi semuanya satu per satu karena pasti ada yang menemani.