Lupain drama keluarga menye-menye khas Natal. Saatnya aksi fantasi!
Masuk di bulan November, film-film bernuansa Natal dan akhir tahun akan mulai bertebaran hingga puncaknya di Desember mendatang. Di tahun ini, ada Red One yang mempertemukan dua mantan superhero: Dwayne Johnson dan Chris Evans. Kali ini, mereka bahu-membahu mencari Sinterklas yang diculik dengan bantuan Lucy Liu. Sutradaranya sendiri, Jake Kasdan, sudah bekerja sama dengan Johnson di dua film yang sangat sukses, yaitu Jumanji: Welcome to the Jungle (pendapatan $962.5 juta) dan Jumanji: The Next Level ($801.7 juta). Dengan bujet fantastis $250 juta, tentu Johnson yang bertindak sebagai produser berharap bahwa pendapatan Red One bakal menyamai dua film Jumanji.
Jack O'Malley mendapat tugas dari klien misterius untuk mencari suatu tempat di Kutub Utara. Tanpa ia sadari, tempat tersebut ternyata adalah rumah sekaligus markas Sinterklas yang sedang sibuk menyiapkan hadiah untuk perayaan Natal yang tinggal menghitung hari. Saat Sinterklas diculik, Callum Drift, kepala keamanan Kutub Utara, dan Zoe Harlow, Direktur Perlindungan Mitologi, melacak Jack dan memaksanya untuk membantu mereka mencari Sinterklas. Pencarian mereka tidak mudah karena harus berhadapan dnegan banyak pihak, termasuk Krampus dan juga Gryla. Satu yang pasti, Drift dan O'Malley harus bergegas atau untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Natal tidak ada.
Jika selama ini film-film Natal biasanya mengambil genre drama, maka Red One agak berbeda. Menghadirkan Johnson dan Evans tentu bukan tanpa sebab. Para penonton akan berharap film penuh aksi dengan latar belakang Natal dan itulah yang disajikan dalam Red One. Jika sebagian film Natal hanya menjadikan Sinterklas tokoh pendamping yang muncul satu kali atau menjadi penutup film, kali ini Sinterklas adalah alasan utama plot bergulir. Unik dan menarik karena jarang, atau malah tidak pernah, film yang mengangkat kisah tentang ini. Dan, memang, plot ini ditambah duet Johnson-Evans membuat Red One menjadi film Natal yang lain dari yang lain. Tidak fokus dengan keajaiban Natal yang mengharu-biru, tapi usaha penyelamatan Sinterklas dan pesan-pesan yang bermunculan di antaranya.
Tidak hanya sekadar mengetengahkan upaya pencarian Sinterklas, Red One juga berisi mitologi, seperti Krampus dari Jerman atau Gryla dari Islandia. Selain itu, masih ada pula hewan folklore lain, di antaranya Troll, Snow Man, elf, dan masih banyak lagi. Red One dengan piawai menggabungkan unsur tersebut ke dalam satu cerita yang tidak hanya bisa menghibur orang dewasa, tapi juga anak-anak dengan keseruannya.
Red One bak imajinasi anak-anak tentang keajaiban seorang Sinterklas. Bagaimana Bapak Natal ini bisa berkeliling dunia dalam semalam dan menaruh hadiah di semua rumah yang merayakan Natal? Semua itu digambarkan di sini. Kutub Utara bagaikan negara Wakanda yang terlindung dari mata manusia dengan teknologi super canggih yang mengatur semuanya demi kelancaran Natal. Ada bagian pengepakan, pita, pengiriman, dan masih banyak lagi. Bukan Sinterklas gendut yang kita lihat, tapi Sinterklas dengan stamina yang fit karena harus mengunjungi miliaran rumah dalam semalam. Kereta Sinterklas yang ditarik rusa-rusa pun ternyata bisa melintasi ruang dan waktu layaknya kapal luar angkasa di Star Wars. Percaya atau tidak, imajinasi ini pasti pernah dibayangkan anak kecil mana pun untuk menjelaskan bagaimana Sinterklas bisa sehebat itu dalam mengirimkan hadiah Natal.
Ujung tombak film ini jelas ada di dua pemeran utamanya: Johnson dan Evans. Sementara karakter Callum Drift yang diperankan Johnson tidak terlalu berbeda dari peran-peran dia sebelumnya di film yang menjual aksi, karakter Jack O'Malley terasa memberikan hal yang berbeda untuk Evans. Memerankan Captain America cukup lama, orang tentu beranggapan bahwa ia akan susah lepas dan terjebak peran yang stereotip. Di Red One, Evans tampak bisa melepas karakter superhero-nya dan menjadi sosok pria tengil, tidak bertanggung jawab dan slenge'an. Mengingatkan kita dengan Scott Lang di film pertama Ant Man. Badannya pun tidak se-bulky saat dia menjadi Captain America sehingga karakternya sebagai cowok berengsek yang rela melakukan apa pun demi uang terasa believable.
Film ini tidak melulu menghadirkan adegan aksi karena di antara itu ada selipan pesan yang cukup bagus. Tentang hubungan orangtua dan anak, tentang keraguan terhadap diri sendiri, dan sindiran terhadap orang dewasa yang lebih mengejar duniawi dan lupa hal-hal menyenangkan di masa kecil. Semua disampaikan dengan baik dan tidak ada tendensi preachy. Yang ada, kita merasa tersentil dan jadi merenung.
Kalau mau dicari kekurangannya, mungkin ada pada ending film ini yang terasa kurang aksi dan disudahi sedemikian rupa dengan tidak menampilkan terlalu banyak kekerasan. Memang, dengan rating 13+, diharapkan film ini bisa menghibur siapa pun, bukan hanya sekadar orang dewasa yang mencari tontonan penuh laga, efek spesial, dan kisah fantasi.