Drama baru dari Yandy Laurens yang.. cukup dramatis.
Rasanya tidak berlebihan jika Yandy Laurens kini jadi salah satu sutradara sekaligus penulis naskah yang karyanya patut ditunggu. Apalagi setelah sukses lewat film fenomenal peraih 7 Piala Citra, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023). Kini, Yandy muncul dengan karya baru yang merupakan adaptasi dari sinetron berjudul sama yang pernah tayang di RCTI tahun 1996. Meski diadaptasi dari ‘cerita lama’, 1 Kakak 7 Ponakan (1K7P) berhasil memberi sudut pandang baru dari istilah sandwich generation yang beberapa tahun ini sering dibahas dan sangat relevan dengan generasi sekarang.
1K7P bercerita tentang Moko (Chicco Kurniawan), pemuda yang baru saja lulus kuliah dan punya mimpi sebagai arsitek. Belum juga mencicipi kebebasan sebagai sarjana, Moko tiba-tiba dihadapkan pada keputusan sulit. Sang kakak ipar Atmo (Kiki Narendra) mendadak meninggal dunia kemudian disusul oleh sang kakak Agnes (Maudy Koesnaedi), membuat Moko harus menjadi wali bagi 4 keponakannya: Woko (Fatih Unru), Nina (Freya Jayawardana), Ano (Nadif H. S.), dan bayi Ima yang baru lahir.
Beban Moko bertambah karena ada Ais/Gadis (Kawai Labiba) yang tiba-tiba ‘dititipkan’. Napas Moko semakin berat saat sang kakak kedua Osa (Niken Anjani) dan suaminya Eka (Ringgo Agus Rahman) datang dari luar negeri untuk menumpang. Moko pun lama-lama mengasingkan diri, memutuskan untuk fokus mengurus keluarga. Meninggalkan cita-cita, impian, termasuk kisah cintanya dengan Maurin (Amanda Rawles).
Di sepanjang film berdurasi 2 jam lebih sedikit, Yandy kembali berhasil mengaduk perasaan penonton lewat 1K7P. Scene sedih bisa membuat penonton tersenyum hangat. Sementara, adegan penuh tawa justru bikin kita menatap nanar, dan entah kenapa hati jadi terasa mellow lalu bikin mata berkaca-kaca. Istimewanya, banyak hal diutarakan lewat suasana sunyi dehingga momen yang dirasa setiap penonton jadi terasa personal.
Dari segi teknis, sinematografi film ini patut diacungi jempol. Berhubung tema filmnya tentang rasa susah yang dialami dalam keluarga, tone warna redup dan sunset lebih mendominasi. Wardrobe yang dipakai berulang juga bisa jadi highlight tersendiri. Ditambah alunan lagu "Kita Usahakan Rumah Itu" dan "Ayo Kita Pergi Makan" dari Sal Priadi yang liriknya ngena dan pas banget dengan suasana keluarga Moko.
Uniknya, 1K7P nggak melulu menampilkan susahnya hidup dari sudut pandang Moko. Kita juga diajak memahami perasaan resah dan tidak enak hati dari POV setiap keponakan. Karakter serta range umur mereka bervariasi, jeritan hati mereka pun berbeda. Sayangnya, ada beberapa penyampaian yang terasa tidak selesai dan kurang ‘pecah’ dari segi akting sehingga emosinya terasa nanggung ke penonton. Karakter Moko pun dibuat terlalu nelangsa, merasa semua masalah harus di-handle sendiri.
Lalu apakah film ini full adegan sedih dan nelangsa seorang kakak yang mengasuh keponakan? Tentu tidak. Kelucuan yang polos beberapa kali muncul dari celetukan para keponakan. Ditambah lagi dengan kemunculan satu cameo yang benar-benar out of the box. Sangat tidak disangka dan sukses bikin satu studio tertawa riuh.
Sayangnya, prolog 1K7P terlalu terburu-buru. Emosi penonton jadi kurang siap menerima beban cerita yang ‘jatuh’ secara tiba-tiba. Berbeda dengan film genre drama yang biasanya membangun cerita secara pelan dan konsisten sehingga begitu klimaks muncul, emosi penonton bisa dipancing dengan mudah. Definisi ‘7 keponakan’ yang ada di judul dengan kenyataan visual yang ada di film juga berbeda, karena keponakan Moko ternyata hanya 4 orang. Munculnya karakter baru yang ujug-ujug hadir tanpa penjelasan jelas juga membuat penonton bertanya-tanya. Tapi bisa jadi ini memang caranya Yandy untuk memposisikan penonton di situasi seperti Moko. Musibah selalu datang serba tiba-tiba. Boro-boro menerima takdir, tarik napas pun tak sempat.
Untuk yang sedang butuh di-puk-puk lewat film tanpa di-judge berlebihan, 1 Kakak 7 Ponakan mengajarkan kita untuk nggak melulu mengasihani diri sendiri alias self pity. Menjalani takdir yang nggak mengenakkan memang tidak bisa dihindari. Akan tetapi, membuka diri untuk menerima kasih sayang, cinta, dan support dari orang lain (terutama keluarga) tentu bukan kesalahan. Meminjam kalimat dari The Boy, the Mole, the Fox and the Horse karya Charlie Mackesy, “What’s the bravest thing you’ve ever said?” “Help. Asking for help isn’t giving up. It’s refusing to give up.” Toh, semua cobaan hidup akan terasa lebih ringan jika dihadapi secara bersama-sama, bukan?