The Monkey: Perjalanan Gore yang Tidak Terlupakan

by Redaksi

The Monkey: Perjalanan Gore yang Tidak Terlupakan
EDITOR'S RATING    

Boneka monyet yang lucu kini jadi mematikan

Nama Osgood Perkins kembali mencuri perhatian lewat film terbarunya, The Monkey. Sebelumnya, putra aktor Anthony Perkins ini sudah menyutradarai Longlegs, sebuah film horor dengan twist yang menampilkan Nicholas Cage sebagai pembunuh serial. Ditulis dan disutradarai sendiri olehnya, vibe Longlegs akan mengingatkan kita pada film-film Stephen King, seperti The Shining atau Misery. Dan, sudah bisa diduga, Perkins mendapat kesempatan mengadaptasi salah satu cerita pendek karya King ke layar lebar, tentu dengan gayanya sendiri. 

Dua saudara kembar, Hal dan Bill, sedang membongkar lemari ayah mereka yang menghilang dan menemukan sebuah kotak berisi mainan monyet yang sedang menabuh drum. Tertarik, Bill yang (merasa) lebih tua dari Hal memutar kunci di belakang si monyet, namun tidak terjadi apa-apa. Merasa bahwa mainan itu rusak, Bill pun memberikannya kepada Hal. Malamnya, saat sedang makan bersama pengasuh mereka, pisau koki melayang dan menebas leher si pengasuh hingga putus. Menyadari bahwa boneka monyet ini memiliki kekuatan membunuh, Hal yang terus-menerus dirundung Bill, meminta boneka itu untuk membunuh kembarannya. Namun, yang terjadi malahan ibu mereka meninggal karena aneurysm mendadak. Ini membuat si kembar menjadi yatim-piatu dan tinggal di rumah paman dan bibinya. Dua puluh lima tahun kemudian, Si Monyet yang sudah mereka segel dan jatuhkan ke sumur tiba-tiba kembali dan mulai memakan korban lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan Hal dan Bill selain menghadapi mimpi buruk mereka di masa lalu.


Sejujurnya, The Monkey bukan untuk mereka yang bernyali kecil. Memutuskan untuk menonton film ini berarti harus siap dengan segala gore dan kengerian yang dihadirkan. Namun, bukan kesadisan ala Saw yang membuat kita berjengit, melainkan ala Final Destination. Dengan memakai genre komedi horor, meski menghadirkan cerita yang tergolong gore, namun penonton masih bisa menertawakan hal itu. Tentunya, tertawa miris dan kaget, bukan tertawa senang. 

Kematian yang dihadirkan memang bukan sesuatu yang sengaja dibuat dengan alat yang sudah diatur sedemikian rupa, melainkan kematian yang tidak mustahil terjadi di sekitar kita dalam kondisi yang terasa biasa saja, seperti saat makan malam di restoran, berkemah, hingga diserang lebah. Hal-hal yang umum, namun punya dampak mematikan kalau dilihat dari sisi gore. Perkins juga tidak "malu-malu" dalam menyajikan tampilan darah yang eksplisit. Beberapa adegan dijamin akan membuat penonton ngilu dan kaget karena timing-nya yang tidak terduga, bahkan menjelang akhir sekalipun.


Satu hal yang menarik, Perkins tidak berusaha untuk menggali tentang asal-muasal Si Monyet, seperti dari mana asalnya, kenapa ia bisa memiliki kekuatan mematikan seperti itu, dan bagaimana mengalahkannya. Alih-alih, ia menggali hubungan keluarga antara Hal dan Bill yang penuh dinamika naik dan turun, serta hubungan Hal dan putranya, Petey. Jadi, sampai film berakhir pun, kita tidak akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Tentu saja, dengan mengedepankan dinamika Si Kembar berarti aktor yang memerankan juga haruslah bisa menampilkan dua sosok yang berbeda. Satu sebagai pria baik-baik yang hanya berusaha untuk melanjutkan hidup, sementara satu lagi bak preman yang kasar dan tidak pedulian. Untungnya, Theo James berhasil menghadirkan dua karakter yang bertolak-belakang tersebut. 

Jelas, The Monkey bukan tontonan yang mungkin bisa dinikmati siapa saja. Gore-nya yang eksplisit dan humornya yang satir hanya disukai segelintir orang saja. Meski begitu, The Monkey akan membawa kita ke sebuah perjalanan gore yang tidak terlupakan. Oh ya, kalau kalian sadar, Osgood Perkins memakai nama "Annie Wilkes" sebagai nama pengasuh Si Kembar yang mati terpenggal di restoran. Itu merupakan referensi terhadap karya Stephen King lainnya, yaitu Misery, di mana karakter Annie Wilkes adalah seorang wanita tua yang menawan pengarang favoritnya hanya karena si pengarang membunuh karakter yang ia sukai. 


Artikel Terkait