Sinners: Sejarah, Musik, dan Pengisap Darah

by Redaksi

Sinners: Sejarah, Musik, dan Pengisap Darah
EDITOR'S RATING    

Horor bercampur dengan sejarah kulit hitam di tahun 1920-an

Ryan Coogler, saat ini, merupakan salah satu sutradara kulit hitam yang berkualitas. Setelah sukses dengan Creed disusul Black Panther yang berhasil melambungkan namanya, Coogler mendapat kesempatan menyutradarai, menulis naskah, sekaligus memproduseri film yang merupakan kisah orisinal pertamanya atau tidak diadaptasi dari materi apa pun. Kembali bekerja sama dengan Michael B. Jordan, film ini juga menghadirkan deretan cast lain, seperti Hailee Steinfeld, Miles Caton, Jack O'Connell, Wunmi Mosaku, Jayme Lawson, Omar Miller, Li Jun Li, hingga Delroy Lindo. Dari materi trailer yang sudah beredar, film ini terlihat menghadirkan pertempuran antara sekelompok manusia yang terjebak di sebuah gudang tua melawan kumpulan vampir yang mengepung mereka. Namun, apakah premisnya sesederhana itu?

Kembar bersaudara, Smoke dan Stack, kembali dari Chicago ke Mississippi untuk memulai hidup baru. Di kota kelahiran mereka, keduanya berniat membangun sebuah klub untuk kulit hitam, Club Juke. Untuk itu, mereka meminta kenalan mereka ikut membantu, seperti memasak, membuat plang nama, menjaga pintu masuk, dan juga bermain musik sebagai hiburan bagi para tamu. Namun, tanpa mereka sadari, sesuatu yang jahat mengintai dan siap menyeret mereka ke dalam kegelapan untuk selamanya.

Dengan durasi 2 jam 17 menit, Sinners ternyata bukan film horor biasa. Apa yang dihadirkan di trailernya, bisa dibilang, cukup menipu para calon penonton. Tema besar film ini bukan perang antara manusia dan vampir, tapi situasi orang-orang kulit hitam pada periode 1920-an, sementara hadirnya pengisap darah sekadar pelengkap saja. Mengambil tahun 1922 dengan Mississippi sebagai latarnya, Coogler pun menyinggung banyak elemen sosial pada masa itu. Misalnya, pemisahan antara kulit hitam dan kulit putih di ruang publik, Ku Klux Klan, perburuan orang kulit hitam, lynching, dan masih banyak lagi.


Sinners mengenalkan karakter, menjelaskan latar belakang masing-masing tokohnya, hingga membangun tensi dengan sangat perlahan, kalau tidak mau dibilang lambat. Nyaris 1,5 jam film berjalan, belum ada sesuatu yang besar meski kita sesekali diberi petunjuk lewat kilasan gambar apa yang akan terjadi nantinya. Durasi dua jam lebih benar-benar dimanfaatkan Coogler untuk memperdalam karakter hingga menghadirkan kritik sosial akan situasi kulit hitam di masa tersebut. Sayangnya, hal ini malah membuat pertempuran manusia dan vampir yang dianggap kebanyakan orang sebagai inti cerita ternyata hanya mendapat porsi di 1/3 akhir film. Itu pun juga masih meninggalkan banyak pertanyaan, seperti asal-muasal si vampir. Jadi, jika berharap film ini akan penuh adegan aksi pertarungan manusia melawan makhluk kegelapan abadi dengan gaya yang fantastis, lupakan saja. 

Meski ceritanya "memaksa" orang untuk bersabar, namun film ini bisa dibilang unggul dari segi musik. Mengedepankan blues sebagai musik utamanya, dengan unik, Sinners memasukkan unsur musik modern di pertengahan cerita. Penggambaran kemampuan karakter Sammie Moore yang musiknya begitu hebat hingga bisa memanggil arwah dari masa lalu dan masa depan dihadirkan dengan cara yang tidak biasa. Semuanya disatukan dalam ruang yang sama, di mana masyarakat kulit hitam periode 1920-an menari bersama breakdancer, balerina, DJ, pemain opera Tionghoa, dan masih banyak lagi. Adegan yang jelas sangat unik, tapi juga mengundang kerutan di dahi. Untuk musiknya sendiri, Coogler kembali mempercayai Ludwig Göransson, teman satu kampus yang sudah sering berkolaborasi di berbagai film, bahkan berhasil meraih Oscar. Bisa dibilang kepercayaan tersebut terbayar. Campuran antara musik blues dan modern bisa kita dengar di sepanjang film. Sulit dipercaya bahwa musik film ini dipegang oleh orang yang sama yang membuat musik elektronik untuk Tenet milik Christopher Nolan.  

Kalian tertarik menonton Sinners karena suka film-film vampir? Tunggu dulu. Film ini punya lapisan-lapisan yang lebih dari sekadar "sebuah film horor". Sinners mengangkat sejarah kelam penindasan kulit hitam di Amerika dan juga menghadirkan salah satu sumbangan terbaik merek untuk dunia musik: blues. Asal mau bertahan dengan set-up-nya yang lambat, film ini memberikan ending yang cukup menarik dan jelas sebuah film vampir yang tidak biasa.