Man of Steel: Superman Yang Tak Super

by Chewbacca

Man of Steel: Superman Yang Tak Super
EDITOR'S RATING    

Si Manusia Baja kembali terbang. Setelah Superman Returns yang cukup mengecewakan, mampukah Man of Steel mengembalikan Superman ke jajaran elit film adaptasi komik superhero?

Jauh sebelum Burton, Raimi, ataupun Nolan sekalipun, Richard Donner sudah terlebih dahulu mendefinisikan genre superhero melalui Superman (1977). Menggabungkan seorang Man of Steel sejati, musik yang ikonik, naskah yang terstruktur rapi, dan special effect yang pas apa adanya. Penonton pun dibawa percaya bahwa a man truly can fly. Sayangnya, hal yang sama tidak berlaku di banyak sequelnya. Tidak ada yang mampu menyamai kualitas pendahulunya. Hanya mendiang Christopher Reeve sendiri yang mampu membuat semua film itu watchable. Bryan Singer pernah berusaha untuk menyamai Donner melalui Superman Returns. Namun ia berusaha terlalu keras untuk itu, sehingga hasilnya tidak memuaskan. Hingga kini, akhirnya pria baja ini kembali dibangkitkan oleh duo Christopher Nolan dan David S. Goyer yang juga penggemar dari film originalnya. Mereka mencoba membangkitkan kembali Superman ke dalam kesuksesan awalnya dan kesemuanya itu dipercayakan kepada Zack Synder yang sudah mengambil perhatian publik melalui 300 dan Watchmen. Mampukah Snyder menumbangkan memori kita kepada versi Donner yang melegenda itu?

Beberapa menit berlalu sejak Kal-El, bayi ras Krypton pertama yang lahir secara biologis setelah berabad-abad lamanya, menggaungkan tangisan pertamanya di kediaman sang ayah, Jor-El. Setelah mengirimkan putranya ke bumi sesaat sebelum Krypton hancur meledak, kita tidak diberikan kesempatan untuk bernafas. Semuanya maju mundur dengan cepatnya: Tiba-tiba saja Kal dewasa sudah berewokan, macho, dan menjadi nelayan di Bumi. Ditunjukkan dia baru saja menyelamatkan banyak orang dari tanker minyak yang meledak. Namun tiba-tiba, kita kembali ke belakang tanpa peringatan. Kali ini, Kal kecil ditunjukkan terlihat ketakutan dengan superpowers yang dia dapati. Begitulah cara film ini berjalan. Penuh dengan flashback dan jump scenes yang mendadak, sehingga kita sedikit kebingungan dengan ketidaksabaran Synder untuk segera mencapai adegan-adegan laganya. Komposisi musik Hans Zimmer yang epik (walau masih terasa "random" di beberapa bagian) pun belum bisa mengisi sesuatu yang kosong di penceritaan film ini. Man of Steel terus melompat dari adegan keren nan epik ke adegan berikutnya, namun benang kuat yang menghubungkan adegan itu sama sekali tidak ada. Film ini tidak mempunyai banyak momen besar dan sangat sedikit memberikan ruangan untuk pengembangan tiap karakternya.

Namun bukan berarti Henry Cavill, our latest Superman, tampil jelek juga. Tidak seperti Brandon Routh (Superman Returns), Cavill tidak berusaha menyamai penampilan Chris Reeve. Dia malahan menampilkan karakter ini dengan caranya sendiri, ditambah dengan layer khas Nolan yang lebih gelap dan tertekan, namun juga tidak melupakan aura karisma dan ketampanan khas Superman. Namun satu hal positif ini belum bisa memandu Kal-El yang terlihat sedikit tersesat di filmnya. Tak diragukan ini adalah kehendak Synder, dimana beliau ingin menunjukkan keinginan Superman untuk berbaur ke dalam ras manusia. Sayangnya para manusia yang berlaku sebagai supporting cast itupun tidak membantu banyak.

Amy Adams tidak seganas Margot Kidder di dalam melakoni peran Lois Lane. Memang benar karakternya masih menunjukkan kepercayaan diri, namun tidak banyak kedalaman karakter Lois yang ditunjukkan olehnya. Hal ini bisa menjadi masalah, mengingat hubungan Lois dan Superman harusnya menjadi hal vital di filmnya. Ini makin diperparah dengan sedikitnya ruangan untuk Adams dan Cavill di dalam menunjukkan chemistry mereka. Crowe, Costner, Lane, dan Shannon juga tidak bermain jelek. Namun "kemudahan" peran mereka berlalu di film ini memberikan kesan bahwa tokoh-tokoh yang mereka lakoni itu sangatlah datar dan satu dimensi.

Tapi jangan lupa bahwa Man of Steel adalah summer movies yang paling ditunggu. Jelas semua ingin melepas stress-nya dengan melihat superhero favorit mereka menonjok Zod. Synder lebih dari mampu dalam menghibur penontonnya dalam kasus ini. Dengan menggabungkan action, sci-fi, dan fantasy, sequence pertama yang mengenalkan Krypton itu terlihat dahsyat. Belum lagi dengan fakta bahwa Superman, Zod, dan anak buahnya hampir tidak terkalahkan. Synder memanfaatkan ini semua dengan menciptakan adegan laga yang dipenuhi kehancuran tanpa henti. Dan mungkin hanya di bagian ini saja karakter seperti Lois diberikan kesempatan untuk bersinar. Walau hanya sebentar. Namun sayangnya, hal ini bisa terkesan repetitif. Hasrat Synder di dalam mengingingkan kita terus berceletuk "wow!" berulang kali itu terkesan kelewat ambisius. Terlalu seringnya sequence ini ditunjukkan membuat penonton cukup lelah mengikutinya. Walau harus diakui adegan laga semacam ini memang patut dimasukkan di dalam sebuah film superhero sejenis Superman. Oh, dan mungkin 2D format lebih cocok di dalam menyaksikan deretan sequence tersebut. Meningat Synder sendiri mengambil gambar filmnya dengan kamera 35 mm 2D bukan 3D, mau tidak mau hasil 3D-nya hanya sekedar konversi yang tidak terasa kedalamannya dan sama sekali tidak cocok untuk sebuah film yang banyak menggunakan teknik handheld camera.

Man of Steel terlihat menjanjikan dan penuh potensi sebagai sebuah pengulangan kisah fable DC Comics yang melegenda ini. Namun dengan berusaha terlalu keras di dalam menggarap adegan-adegan dahsyat dan kurangnya kesabaran di dalam mengatur pacing filmnya, banyak hal penting yang ditinggalkan dan masih bisa dieksplorasi lebih dalam lagi. Seperti drama dan juga romansa Clark dan Lois. Padahal dengan semua potensi yang ada di film ini, seharusnya film ini bisa setaraf dengan film superhero berkelas lainnya. Namun dengan hilangnya "Superman magic" yang kita kenal itu, film ini hanya sekedar sci-fi/action flick biasa. Sebuah kisah tentang Superman yang tidak terlalu super.

Artikel Terkait