Challengers: Antara Tenis, Ambisi, dan Cinta Segitiga

by Redaksi

Challengers: Antara Tenis, Ambisi, dan Cinta Segitiga
EDITOR'S RATING    

Dunia tenis ternyata tidak sesederhana yang kita kira

Sejak mencuri perhatian sebagai Mary Jane di seri Spider-man versi Tom Holland, nama Zendaya seakan terus meroket dengan membintangi film-film berkualitas. Setelah Dune: Part Two, selang beberapa bulan kemudian, Challengers rilis. Kali ini, bukan menyelamatkan dunia, tapi Zendaya merusak pertemanan dua atlet tenis karena cinta segitiga. 

Patrick Zweig dan Art Donaldson adalah pemain tenis ganda pria yang sudah akrab sejak menjadi teman sekamar di asrama di usia 12 tahun. Bahkan, mereka juga masuk ke sekolah tenis yang sama dan bertanding bersama. Namun, persahabatan keduanya terancam bubar saat mencintai gadis yang sama, Tashi Duncan, seorang pemain junior tenis yang ambisius. Saat Tashi memilih Patrick sebagai kekasihnya, Art yang cemburu berusaha merebut dengan cara yang halus. Batas antara pertemanan, profesionalisme, dan cinta segitiga pun mulai kabur ketika ketiganya bertemu lagi di sebuah final penentu.

Kebanyakan film bertema olahraga mungkin lebih berfokus pada usaha si karakter dalam meniti karier dan meraih kemenangan. Jatuh-bangun saat latihan, mengalami pasang-surut saat kalah dalam perlombaan, hingga akhirnya sukses. Formula itu rasanya sudah cukup lumrah, tidak terkecuali tenis. Namun, Luca Guadagnino (sutradara) dan Justin Kuritzkes (penulis naskah) mencoba menghadirkan kisah yang sedikit berbeda dalam Challengers. Bisa dibilang, ini bukan murni film tentang tenis, tapi film cinta segitiga dengan bumbu tenis. Menggunakan plot flashback dan flash forward, kita diperlihatkan kehidupan Tashi dan Art sebagai suami-istri untuk kemudian dibawa mundur ke perkenalan keduanya dan konflik yang terjadi antara mereka dengan Zweig, sahabat lama Art.


Ujung tombak film ini jelas ada pada tiga karakternya yang tampil dengan menarik. Namun, tentu bintang utama film ini adalah Zendaya yang berhasil menampilkan karakter Tashi yang penuh semangat sebagai pemain muda, tapi juga bisa terlihat ambisius dan tahu apa yang diinginkan di usia dewasa. Dengan alur non-linear yang dihadirkan Guadagnino, kita bisa melihat perubahan Tashi tersebut dan kredit lebih memang patut disematkan kepada Zendaya yang kembali menunjukkan kemampuan akting luar biasa. 

Meski begitu, gaya penceritaannya mungkin akan menyulitkan sebagian penonton untuk menangkap alurnya karena terlalu sering berpindah-pindah timeline. Belum lagi, pertandingan tenis yang terasa lebih singkat dibanding dramanya, membuat mereka yang datang untuk menonton film ini karena ingin melihat keseruan tenis di layar lebar mungkin akan sedikit kecewa. Namun, Guadagnino berhasil memaksimalkan setiap momen pertandingan tenis sehingga sanggup membuat perhatian penonton terpaku ke layar. Ada saat kita menjadi pemain di lapangan, tapi ada saatnya juga kita menjadi bola yang terlontar ke sana kemari terkena pukulan raket. 

Pergerakan kamera yang dinamis memang menjadi salah satu keunggulan film ini dalam menggambarkan pertandingan tenis sehingga sanggup membuat penonton merasakan betapa intensnya permainan adu hantam bola ini. Satu lagi yang menarik dari Challengers adalah penggunaan musiknya yang terasa tepat untuk membangun mood. Namun, Guadagnino juga sadar bahwa penggunaan musik saat pertandingan justru malah akan merusak suasana sehingga kita akan diberikan pertandingan yang sunyi sehingga bisa mendengar hantaman raket, dentuman bola, hingga  napas dan teriakan para pemain. 

Bagi kalian penyuka Zendaya dan olahraga tenis, dua faktor ini jelas jadi alasan kuat untuk tidak melewatkan Challengers di bioskop.