Sekumpulan pria macho bravado yang menjalankan misi khusus
Kisah-kisah tentang Perang Dunia kerap diceritakan dari berbagai sudut pandang, mulai dari drama, thriller, sampai action. Umumnya, kisah yang diangkat adalah kekejaman Nazi dan upaya memeranginya dengan berbagai strategi. Guy Ritchie rupanya tidak mau ketinggalan dengan mengadaptasi sebuah buku berjudul Churchill's Secret Warriors: The Explosive True Story of the Special Forces Desperadoes of WWII karya Damien Lewis. Kisahnya adalah tentang misi bernama Operation Postmaster yang dilakukan oleh pasukan khusus Inggris untuk menghentikan pasokan bahan bakar dan amunisi bagi kapal selam Jerman. Adaptasi bebas dari operasi tersebut diperankan oleh deretan cast yang rasanya tidak asing lagi bagi para pencinta film, seperti Henry Cavill, Eiza González, Alan Ritchson, Alex Pettyfer, Hero Fiennes Tiffin, Babs Olusanmokun, Henry Golding, dan Cary Elwes.
Akhir tahun 1941, Inggris sedang kerepotan melawan Nazi di puncak PD II. Dibom di darat, sementara pasokan dan kapal bantuan ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman, U-boat. Atas suruhan Perdana Menteri Winston Churchill, Brigadir Golin Gubbins diminta menyiapkan satu tim untuk melakukan misi sabotase terhadap pemasok U-boat agar Amerika bisa mendarat dengan selamat di Eropa dan membantu melawan Nazi. Gubbins tahu bahwa dibutuhkan orang-orang nekad yang berani mati dan gila untuk melakukan pekerjaan ini. Maka, ia pun memanggil us March-Phillips untuk menyiapkan tim yang akan menghancurkan kapal pemasok milik Italia di wilayah Spanyol.
Bisa dibilang, tim yang dikumpulkan March-Phillips (Cavill) bak superhero. Tidak gagal menjalankan misi, hanya terluka sedikit, bahkan dengan gampangnya membunuh musuh tanpa ada hambatan yang berarti. Aslinya, jangan bayangkan pasukan rahasia ini berbadan kekar dan berwajah tampan semua. Selepas operasi yang berhasil, akhir kisah mereka pun tragis. The Ministry of Ungentlemanly Warfare memang adaptasi fiksi berdasarkan kejadian Operation Postmaster sehingga tidak heran jika banyak hal yang melenceng dan ditambahkan demi kepuasan penonton. Terlebih lagi, gaya Guy Ritchie yang sudah dihafal para pencinta film pun membuat film ini lebih stylish dari peristiwa aslinya.
Berbeda dari film-film sejenis lainnya, misalnya Valkyrie (2008) yang dibintangi Tom Cruise dan dibuat sangat mirip dengan karakter yang ia perankan, seluruh pemeran di sini bisa dibilang jauh dari tokoh aslinya. Tentu, itu bukan masalah karena memang film ini bukan untuk memaparkan kisah sejarah dengan akurat, melainkan hanya terinspirasi sehingga pemilihan pemainnya pun tidak berusaha dimiripkan. Namun, bukan berarti Guy Ritchie memandang remeh aktor dan aktris yang ia libatkan karena banyak nama besar. Meski Cavill, yang tidak sepi job meskipun sudah tidak memerankan dua karakter ikonik, Superman dan Geralt of Rivia di serial The Witcher, menjadi karakter pemimpin tim di sini, namun Ritchie tidak lantas memfokuskan kisah hanya padanya. Karakter lain juga diberi screentime dan adegan aksi yang lumayan. Bahkan, Gonzalez dan Olusanmokun (Dune: Part One dan Part Two) juga mendapat misinya sendiri.
Sayangnya, third act yang dihadirkan di film ini jauh menurun dari 2/3 film di awal. Seperti menonton film yang lagi seru-serunya, tapi tiba-tiba ternyata credit title bergulir. Kira-kira itulah yang mungkin akan dirasakan sebagian penonton ketika lampu bioskop sudah menyala. Adegan penutup film ini memang terasa kurang bombastis untuk sebuah film aksi, apalagi dengan bintang-bintang ternama yang diperlihatkan memiliki keahlian masing-masing. Rasanya seperti nanggung karena di awal aksi sudah dibangun dengan cukup baik.
Untuk kalian yang suka tontonan film laga ringan tanpa banyak twist rumit dan penuh cowok-cowok macho bravado yang dipimpin Henry Cavill (atau penggemar Eiza Gonzalez), The Ministry of Ungentlemanly Warfare dengan segala keseruan dan darah di mana-mana jelas tidak boleh dilewatkan.