Kesunyian yang menegangkan tidak ada di sini
Ide untuk menampilkan bagaimana alien di film A Quiet Place bisa datang ke Bumi sebenarnya cukup menarik dan memantik rasa penasaran. Terutama, saat alien tersebut turun di kota yang bising. Terbayang kehancuran yang bakal terjadi. Kekacauan, panik, dan rusuh di mana-mana. Manusia yang biasanya ramai harus terbiasa untuk diam dan sunyi. Proses kehancuran dan peralihan ini menarik untuk disaksikan di layar lebar, apalagi ditambah ciri khas film A Quiet Place yang sunyi dan mencekam. Michael Sarnoski dengan gagah berani menerima tantangan ini dan duduk di bangku sutradara. Ia juga ikut menulis cerita bersama Bryan Woods berdasarkan ide dari John Krasinki, kreator original A Quiet Place. Lalu, kita akan menikmati hasilnya.
Namun, sayangnya, Day One gagal memenuhi ekspektasi penonton yang sangat menyukai film pendahulu. Prekuel ini sungguh minim sesuatu yang membuat tegang dan sunyi. Alih-alih menegangkan, film ini malah terjebak jadi film survival dengan unsur drama kental. Ini jadi membosankan. Walaupun drama yang dihadirkan mencoba untuk lebih menjual ekspresi tanpa suara, tapi yang ditunggu penonton bukan itu. Mana petak umpet dengan monster-monsternya? Mana adegan sunyi menegangkan sampai penonton bioskop bisa mendengar bunyi nafas mereka sendiri saking sunyinya adegan film? Mana adegan terluka dramatis yang membuat penonton meringis karena melihat karakter di filmnya harus menahan teriakan saat tubuh mereka cedera? Yang ada, malah drama pantomim yang bahkan tidak menyentuh.
Kemunculan para monster di film ini tidak malu-malu seperti film pertama dan kedua. Di sini, monsternya ada di mana-mana dan bisa terlihat jelas. Bahkan, beberapa kali monster muncul secara jumpscare mengikuti gaya film-film horor. Tapi, itu semua terasa nanggung saat sedang seru-serunya dikejar monster, adegan malah di-cut dan lanjut ke beberapa saat kemudian ketika karakter sudah selamat. Sineas memotong proses survival yang justru seharusnya menjadi jualan utama film ini. Penonton tidak peduli karakternya selamat atau tidak, yang penting proses terjadinya itu yang ditunggu. Ditambah, karakternya selalu beruntung dan selamat sehingga monster-monster itu terasa kurang berguna.
Joseph Quinn dan Lupita Nyong’o jelas gagal membuat karakter mereka menjadi simpatik. Terlalu banyak kebetulan dan keberuntungan sehingga penonton yakin mereka akan selamat. Adanya pizza di tengah keruhnya suasana jelas egois dan tidak masuk akal, namun ada karakter lain yang ikut-ikutan dan malah hepi-hepi di tengah bencana alien tentu tidak mengundang simpati. Jika saja mereka tidak membawa kucing lucu ke mana-mana, mungkin karakter mereka akan lebih garing lagi.
Sungguh jauh dari ekspektasi dan jelas berada di kualitas yang jauh dari film pertama dan keduanya. Tapi, jelas franchise A Quiet Place masih bisa dilanjutkan dan memunculkan ide baru lagi, asal inti utamanya berupa kesunyian tidak dihilangkan. Barangkali, Michael Bay berminat untuk menjadi sutradara penutup franchise ini, di mana full action tanpa suara akan terjadi saat pasukan Bumi melawan alien di hari ke-1000.