Entah siapa yang menyuruh Joker menyanyi, hasilnya bikin ngantuk
Dengan ekspektasi yang sangat tinggi, akhirnya sekuel Joker yang berjudul Joker: Folie a Deux tayang di bioskop Indonesia. Mengingat betapa suksesnya film yang pertama, orang-orang sudah menunggu akan seperti apa sekuel yang, kali ini, mengambil gaya musikal. Penggabungan antara anarki dan musikal rasanya belum pernah ada, ditambah ini universe Batman yang punya banyak karakter ikonik, ditambah kemunculan Harley Quinn. Ekspektasi semakin tinggi, namun respon yang kurang baik saat premier di Cannes mulai sedikit mengganggu. Tapi, tonton saja dulu siapa tahu memang selera penonton Cannes yang ketinggian. Namun, ternyata mereka benar. Ini film adaptasi komik paling bikin ngantuk sepanjang masa.
Film ini melanjutkan apa yang sudah terjadi di film pertama, efek dari Joker yang sudah membunuh banyak orang dan satu di siaran langsung. Fokus dari film ini adalah menentukan apakah Arthur Fleck memang gangguan jiwa atau hanya pura-pura gila. Persidangan menjadi tema utama, bagaimana masyarakat New York terbelah antara memihak atau ingin membunuh Joker. Tidak lupa, ada kisah cinta penuh fantasi antara Joker dan Harley (Lee) Quinzel yang diperankan Lady Gaga.
Untuk film yang berdurasi dua jam lebih, sepertinya Joker: Folie a Deux memiliki pace yang sangat lambat. Nyaris 90%-nya disebabkan oleh nyanyian-nyanyian yang terlalu sering muncul. Ya, sumber buruknya film ini ternyata ada di sisi musikalnya. Bukan karena lagu atau musiknya jelek, tapi penempatannya yang terlalu sering dan panjang membuat film terasa berjalan sangat lama. Ceritanya tidak maju-maju kalau nyanyinya tidak selesai. Selain itu, sisi fantasi Joker tidak ada sesuatu yang baru. Cara Todd Philips membuat isi kepala Joker yang kacau terasa membosankan dan flat. Alih-alih anarki, Joker malah terlihat kasihan. Jadi, kenapa penonton mau melihat Joker yang tidak berguna?
Filmnya sendiri sangat datar. Tidak ada momen-momen yang membuat penonton harus melihat layar. Ada sedikit kejutan, tapi tidak ada pay-off-nya. Lalu, filmnya diakhiri dengan begitu saja. Apa yang ada di kepala para eksekutif Warner Bros. saat menyetujui membuat sekuel film laris mereka secara ugal-ugalan dan eksperimental? Apa mereka sudah yakin bahwa seburuk apa pun Joker tetap akan laku? Terlepas dari alurnya yang membosankan, sisi teknis film ini tetaplah bagus. Gambar, suara, dan akting pemainnya pun bagus, hanya hasilnya yang mengecewakan.
Kalau saja ini bukan film dengan karakter Joker, mungkin orang akan lebih bisa menikmati. Tapi, dengan adanya karakter Joker di sana, tentu penonton akan memiliki ekspektasi. Mereka, apalagi yang mengikuti DC Universe, tahu Joker seperti apa dan apa yang mereka harapkan jika karakter Joker muncul. Tapi tidak ada yang menyangka kalau sekuel dari salah satu film terlaris 2019 adalah Joker yang butuh dikasihani.