Timo Tjahjanto kembali dengan film aksi yang bikin kita menahan napas
PERHATIAN, ULASAN MENGANDUNG SPOILER!
Sejak diumumkan bahwa Timo Tjahjanto akan menggarap The Shadow Strays bersama Netflix, proyek ini seakan sudah ditunggu-tunggu para pencinta film, khususnya penyuka film aksi. Dua garapan Timo di Netflix sebelumnya, The Night Comes for Us (2018) dan The Big 4 (2022), berhasil menghadirkan kisah yang brutal, penuh darah, dan diwarnai aksi yang tidak tanggung-tanggung. Tentunya, harapan para penonton, The Shadow Strays juga akan menghadirkan keseruan yang sama. Kali ini, dua aktris muda menjadi karakter utamanya, yaitu Aurora Ribero dan Hana Malasan. Selain dua nama ini, masih ada lagi sederet pemain lain, seperti Ali Fikry, Kristo Immanuel, Adipati Dolken, Andri Mashadi, Chew Kin Wah, dan Taskya Namya.
Film dibuka dengan sebuah misi berdarah di Jepang yang melibatkan Agen 13 (Aurora Ribero) dan Umbra (Hana Malasan). Karena menunjukkan keraguan di tengah misi sehingga hampir celaka, Agen 13 dipulangkan ke Jakarta, sementara Umbra dan pengawasnya bertolak ke Kamboja karena harus melawan pemberontak di sana. Di Jakarta, Agen 13, yang luntang-lantung tanpa pekerjaan karena Umbra tidak memberi kabar, berkenalan dengan anak cowok yang tinggal satu rusun dengannya, Monji. Keadaan Monji dan sang ibu yang terus-menerus diganggu gembong penjahat, membuat Agen 13 prihatin, namun ia tidak bisa berbuat banyak karena tidak ingin menarik perhatian. Kondisi berubah saat Monji diculik. Mau tidak mau, Agen 13 terpaksa melanggar aturan dan turun tangan mencari Monji, sekalipun harus melawan para penjahat kelas kakap Jakarta.
Aktris lokal yang bermain di film laga memang seakan tidak pernah ada habisnya. Kalau dulu, kita dibuat kagum saat Julie Estelle menjadi Hammer Girl di The Raid 2, lalu ada Aghniny Haque yang menarik perhatian lewat Wiro Sableng, kini muncul Aurora Ribero dan Hana Malasan. Hana pernah bermain laga di film Ben & Jody, tapi Aurora jelas selama ini lebih dikenal sebagai aktris drama. Namun, latihannya bersama Timo berhasil menempa gadis ini menjadi aktris laga yang patut diperhitungkan.
Sejak menit pertama hingga adegan puncak, adegan aksi yang dilakukan Aurora sanggup membuat penonton menahan napas, baik itu saat bertarung dengan pedang, pisau, senjata, atau pun alat-alat dapur. Bisa dibilang, Timo sukses menaikkan level adegan fighting di film lokal dengan kualitas internasional. Hana Malasan pun tidak ketinggalan. Dengan seragam The Shadows yang jelas terlihat berat, dia sanggup bertarung dengan lihai. Kalau film-film aksi Indonesia ke depannya memakai salah satu dari mereka berdua memang sudah sewajarnya melihat performa mereka di sini.
Dari segi cerita, The Shadow Strays akan mengingatkan kita dengan The Man from Nowhere (2010). Inti ceritanya hampir sama, di mana seseorang dengan kemampuan terlatih bertarung mati-matian untuk menyelamatkan seorang anak kecil. Motif di baliknyalah yang membedakan. Sayangnya, motif dan chemistry yang terjalin antara Agen 13 dan Monji tidak terasa kuat sehingga alasan Agen 13 mati-matian menyelamatkan anak itu kurang dapat dipahami, selain mungkin karena alasan kemanusiaan. Chemistry yang minim juga terasa justru pada karakter yang kita harapkan kuat interaksinya, yaitu Umbra sebagai mentor dan Agen 13 sebagai murid sehingga pada akhirnya mereka harus berhadapan, penonton tidak merasakan simpati terhadap keduanya.
Perhatian penonton pun juga terbelah dengan dua cabang cerita: pemberontakan di Kamboja yang ternyata dilakukan para agen Shadows dan masa lalu Agen 13 yang kerap muncul dalam mimpinya. Sepertinya, pemberontakan dan riwayat Agen 13 sebelum masuk ke dalam organisasi Shadows sengaja disimpan Timo untuk sekuel, jika memang ada. Namun, dengan durasi 2 jam 24 menit dan dua subplot itu hanya disinggung sedikit, malah menimbulkan pertanyaan dan terasa tanggung. Durasi panjang tersebut memang dimaksimalkan Timo untuk adegan aksi tanpa sedikit pun memberikan ruang untuk drama atau pengembangan karakter. Hasilnya, penonton mungkin tidak akan bersimpati dengan karakter yang ada, selain hanya berharap Agen 13 akan membantai semua penjahat di ibukota dengan cara paling brutal.
Satu lagi yang patut disayangkan adalah sinematografi di setiap adegan laga. Timo menerapkan gerakan kamera yang cepat dan dinamis. Itu bisa dipahami karena untuk mengurangi shot yang memperlihatkan kumpulan penjahat diam menunggu sementara karakter utama sedang berkelahi dengan yang lain. Namun, gerakan kamera tersebut kadang membuat beberapa adegan perkelahiannya justru tidak tertangkap mata dan tidak nyaman ditonton. Pergerakan kamera cepat ini sebenarnya juga digunakan Gareth Evans di The Raid 2. Namun, kebanyakan adegan perkelahiannya berada di bawah pencahayaan yang cukup (gerbong kereta atau dapur luas) sehingga meski kamera bergerak aktif, penonton tetap bisa menangkap semua aksi dengan baik.
The Shadow Strays memang sanggup memuaskan dahaga para pencinta film laga. Namun, dari segi drama, film ini terasa mengecewakan. Jika memang kisah Agen 13 berencana untuk dilanjutkan (dengan open ending yang dihadirkan), mungkin Timo harus mulai membuat film yang tidak hanya menarik dari segi aksi, tapi juga punya drama yang kuat.