My Annoying Brother: Remake Film Korea dengan Sentuhan Lokal yang Pas

by Redaksi

My Annoying Brother: Remake Film Korea dengan Sentuhan Lokal yang Pas
EDITOR'S RATING    

Siap-siap dibikin nangis sama bromance abang-adik yang satu ini.

Tahun ini, film Indonesia dengan genre drama rilis dalam tema cukup beragam dan nggak melulu soal percintaan. Selain cerita original, film yang diadaptasi dari novel dan remake film asing juga kebagian porsi. Khusus film remake, ada My Annoying Brother (2016) dari Korea Selatan yang dibintangi Jo Jung Suk dan Do Kyung Soo yang kini hadir versi lokalnya. Dirilis dalam judul yang tetap sama, film produksi BASE Entertainment, LifeLike Pictures, dan CJ Entertainment ini menggandeng Vino G. Bastian dan Angga Yunanda sebagai aktor utama, selain deretan cast lain, seperti Kristo Immanuel dan Caitlin Halderman.

My Annoying Brother mengisahkan Kemal Solihin (Angga Yunanda), atlet nasional judo yang mengalami cedera saat tanding hingga mengalami low vision. Depresi dan marah sama keadaan? Jelas. Sayangnya, kondisi Kemal ini justru dimanfaatkan oleh Jaya Solihin (Vino G. Bastian), si kakak yang kebetulan ada di penjara, untuk memperoleh keringanan hukuman. Hubungan keduanya yang renggang plus kepribadian yang jauh berbeda membuat ‘reuni’ abang-adik ini jadi banyak awkward-nya. Namun pelan-pelan, Jaya membuktikan bahwa dirinya adalah abang yang baik dan bertanggung jawab bagi Kemal.

Sesuai pakem dari film remake, premis My Annoying Brother tetap ada di jalur aslinya. Mulai dari adegan pembuka, proses perkenalan dua karakter, sampai detail konflik dan penyelesaiannya nggak jauh beda dengan versi Korea. Untuk versi Indonesia, ada tiga karakter yang diambil sesuai dengan film aslinya. Selain Vino dan Angga, Caitlin Halderman menjadi Amanda (versi Korea dibintangi Park Shin Hye), coach judo yang menyemangati Kemal untuk terus menjadi atlet. Karakter tambahan muncul dalam sosok sidekick bernama Fauzan (Kristo).


Di My Annoying Brother ini, hubungan coach-atlet antara Amanda dan Kemal diselipi bumbu cinta. Sayangnya, percintaan keduanya terasa anyep dan nanggung. Karakter Amanda lebih menunjukkan rasa simpatik dan perhatian hangat seorang coach muda ke atletnya. Akting Angga sebagai Kemal juga tidak terlalu memorable, terutama sebagai pengidap low vision yang sebenarnya masih bisa melihat semburat cahaya dan bayangan benda walau samar. Beberapa adegan seolah menunjukkan Kemal mengalami buta total dan sangat kepayahan walau berjalan di dalam rumah sendiri.

Karakter Kemal baru terasa ‘hidup’ saat bertemu dengan Jaya. Chemistry abang-adik ini terasa hangat meski tidak se-bromance versi Korea. Bisa dibilang, pas menggambarkan manisnya abang dan adik laki-laki ala Indonesia. Vino sendiri cukup berhasil membawakan karakter kakak yang tsundere nan tengil. Humornya masuk, meski jauh lebih lucu dan luwes saat beradu akting dengan Kristo Immanuel yang terus jadi scene stealer. Ada beberapa adegan sedih antara Kemal dan Jaya yang seharusnya terasa menyentuh, tapi malah kurang ‘sampai’ ke penonton. Di sisi lain, scene yang dibiarkan mengalir begitu saja malah sukses bikin penonton menangis tanpa henti. Di akhir film, penonton dibuat haru-biru dengan hubungan abang adik ini.


Satu yang patut diapresiasi dari My Annoying Brother adalah banyaknya unsur Indonesia yang dimasukkan ke dalam film tanpa mengubah cerita asli. Dinna Jasanti sebagai sutradara berhasil membangun suasana pasar, lingkungan rumah, sampai menu makanan warteg jadi highlight dan kesatuan cerita yang apik. Ditambah lagi OST "Ruang Baru" dari Barsena Bestandhi yang halus mengalun masuk di timing yang pas, bukan sengaja dimunculkan agar cerita terasa semakin sedih. 

Sebagai film remake, My Annoying Brother ini bisa dibilang berhasil memberikan warna baru di film drama Indonesia. Terutama tentang hubungan antarsaudara laki-laki yang jarang disorot, termasuk struggle keduanya dalam menjalin hubungan keluarga yang sempat terputus. Hadirnya sosok Fauzan yang selalu mengundang tawa padahal hidupnya nggak kalah apes juga bisa jadi bahan refleksi. Nggak selamanya film tentang laki-laki isinya berantem atau adu kekuasaan. Sesekali, boleh juga kok menampilkan hangatnya persaudaraan, persahabatan, dan sisi rapuh laki-laki dengan lebih manusiawi.