Satu film drama terbaik tahun ini!
Tahun 2024 sebentar lagi berakhir. Kalau diingat-ingat, tahun ini lumayan banyak film drama romance memorable yang dilepas ke pasaran dengan tema variatif. Sebut saja The Idea of You yang menampilkan Anne Hathaway sebagai single parent; dua sejoli saling baper tapi penuh salah paham di Anyone But You; sampai Challengers dengan tema cinta segitiga dalam circle atlet tenis. Kini angin segar datang dari A24 yang membawa We Live in Time ke layar bioskop. Berbeda dengan rom-com lain yang fast paced dan stylish, film yang dibintangi Andrew Garfield dan Florence Pugh ini terasa seperti rom-com manis di era 90-an dan awal 2000-an. Kisah cinta yang cenderung biasa namun hangat dan menyentuh, meninggalkan kesan mendalam di hati penonton.
Premis We Live in Time sebenarnya sederhana. Almut (Pugh) seorang chef berbakat dari resto kecil tidak sengaja menabrak Tobias (Garfield), staf perusahaan sereal sarapan, sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Sebagai tanda permintaan maaf, Almut mengundang Tobias dan pasangannya untuk datang menikmati makan malam di restoran tempat ia bekerja. Bisa ditebak, pertemuan itu sebenarnya meninggalkan kesan di hati mereka berdua. Saat Tobias memberi tahu status pernikahannya, keduanya langsung tanpa ragu mengungkapkan rasa suka.
Kalau dirunut sesuai alur, kisah Almut dan Tobias jelas akan terasa seperti film romansa biasa. Ada perkenalan lewat adegan cute-meet yang manis (meski cenderung tragis), saling jatuh cinta, putus-baikan, memutuskan tinggal bersama, punya anak, kemudian memilih berdamai dengan takdir saat salah satunya mengidap penyakit parah. Yang membuat We Live in Time istimewa, film garapan John Crowley (Brooklyn) ini dihadirkan dengan alur non-linear alias maju mundur.
Ada masa lalu, masa sekarang, dan bagaimana mempersiapkan masa depan untuk Ella (Grace Delaney) anak semata wayang mereka. Kisah hidup Almut dan Tobias jadi terasa seperti fragmen memori yang muncul secara acak. Ditambah lagi tidak adanya timestamp sehingga bisa membuat penonton bingung untuk mengurutkan adegan sesuai timeline. Setiap kejadian ditampilkan sepotong demi sepotong seperti menyusun puzzle, namun memberi rasa pilu karena kita tahu di balik cinta yang besar tersimpan rasa takut dari keduanya dalam menghadapi masa depan.
Teknik pengambilan gambar jelas menjadi kunci utama di sepanjang film. Kisah Almut dan Tobias terasa intimate dan genuine lewat beberapa close up shot. Tone sendu dan mendung khas Inggris di sepanjang film juga ikut mendukung jalan cerita. Indahnya rumah dan lingkungan pedesaan tempat tinggal Almut dan Tobias turut membangun kesan bahwa film ini memang sederhana dengan kisah yang apa adanya. Cukup lewat dialog menusuk dari Pugh dan ekspresi detail yang luar biasa bagus dari Garfield yang memperlihatkan gabungan cemas, sedih, dan rasa ingin melindungi yang besar. Ditambah lagi musik score dan selipan lagu yang diperdengarkan membuat penonton merasakan pergolakan emosi yang dirasakan mereka berdua.
We Live in Time memang menyuguhkan cerita pasangan yang secara sadar, atas nama cinta, berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya. Film romance tanpa embel-embel ‘happily ever after’ karena konsep itu cuma ada di dongeng. Bisa dibilang, ini adalah film romance terbaik tahun ini. Ditambah, kapan lagi kita bisa melihat Andrew Garfield dan Florence Pugh kembali ke akarnya, akting dengan ekspresi sepenuh hati lewat aksen bahasa asli?