Di saat semua terlihat baik-baik saja, Ian Antono harus jadi yang paling merana
Perayaan Mati Rasa menjadi film kelima Sinemaku dan film ketiga yang disutradarai Umay Shahab setelah Kukira Kau Rumah dan Ketika Berhenti di Sini. Kali ini, ia mengajak Iqbaal Ramadhan sebagai karakter utama sekaligus produser eksekutif. Selain Iqbaal sebagai Ian Antono dan Umay sebagai Uta Antono, ada sederet cast lainnya yang sudah sangat dikenal oleh Gen Z zaman sekarang, seperti Devano Danendra, Dul Jaelani, Randy Danistha, sampai Priscilla Jamail, di mana PMR menjadi debut aktingnya. Selain itu, masih ada cast dewasa lain, seperti Dwi Sasono, Unique Priscilla, Lukman Sardi, ditambah cameo yang lumayan banyak. Mengangkat tentang kehilangan dan usaha untuk merelakan apakah film ini sukses dalam menyampaikan tema tersebut?
Ian Antono, anak pertama di keluarga. Kesukaannya adalah bermain band dan membentuk Midnight Serenade bersama teman-temannya dengan tujuan masuk major label. Berkali-kali audisi, band mereka selalu ditolak. Sementara, adik Ian, Uta Antono, seorang podcaster sukses. Ayahnya yang pelaut membuat Ian merasa tidak diperhatikan dan selalu dibanding-bandingkan oleh sang adik. Keadaan ini tentu membuat Ian menjadi jauh dari keluarga hingga pada suatu ketika sang ayah dinyatakan hilang di laut. Mau tidak mau, Ian harus bekerja sama dengan Uta untuk menutupi hal tersebut dari sang ibu yang masih dalam kondisi lemah akibat operasi jantung.
Film dibuka dengan monolog Ian di galangan kapal yang menyebutkan bahwa ia terbebani sebagai anak pertama dan merasa dibanding-bandingkan dengan sang adik yang lebih sukses. Tentunya, dengan pernyataan tersebut, kita sudah diberikan satu fondasi bahwa hidup Ian terasa berat sehingga membuatnya mati rasa. Namun, seiring cerita berjalan, kita tidak melihat hidup Ian yang berat, tapi Ian yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga lupa dengan sekitarnya.
Dari awal, karakter Ian sudah terasa tidak simpatik. Entah apa memang itu tujuan naskahnya, membuat Ian yang antagonis, atau justru mau memperlihatkan seperti inilah anak muda zaman sekarang yang merasa tidak dimengerti, tapi semuanya itu hanya ada di imajinasi saja. Sepanjang film, kita dibawa melihat sosok Ian dengan berbagai macam emosi yang merasa bahwa dirinya sebagai anak pertama punya beban karena ekspektasi orang tua. Sayangnya, naskah Perayaan Mati Rasa lupa membangun fondasi awal tadi dengan bata demi bata penjelasan yang membuat kita bisa paham dan maklum akan sikap Ian. Yang ada, kita hanya melihat sebuah keluarga harmonis dengan ayah yang perhatian (meski memang jarang di rumah karena pelaut), ibu yang penyayang, dan adik yang selalu berusaha mendukung kakaknya. Tidak ada tuntutan bahwa Ian harus bekerja kantoran, menjaga sikap, tidak ngeband, dan lain-lain dari orangtuanya. Ini membuat Ian terlihat seperti orang yang tidak bersyukur, tenggelam dalam pikirannya sendiri, merasa tidak dimengerti, dan tidak mau membuka diri.
Salah satu hal yang terasa tidak logis adalah saat ayahnya menasihati di tempat audisi dan Ian membalas dengan "Selama ini Papa ke mana?" Pertanyaan tidak manusiawi dari anak muda yang merasa hidupnya paling malang sejagat raya. Sejak kecil, Ian tahu bahwa ayahnya adalah pelaut yang bisa pergi berbulan-bulan, namun juga saat pulang bisa berbulan-bulan juga di rumah. Lantas, saat ayahnya di rumah, ke mana Ian hingga merasa tidak diperhatikan? Karakter Uta sendiri digambarkan dekat dengan sang ayah dan tidak merasa ditinggalkan, kadang mengobrol, sering mendapat nasehat dan dihubungi lewat Whatsapp. Mengajukan pertanyaan seperti yang dilontarkan Ian jelas adalah sebuah bentuk kebingungan para penulis naskah PMR terhadap karakter yang ingin mereka buat dan juga konflik yang ingin dibangun. Alih-alih membuat konflik yang kuat tanpa perlu didramatisasi berlebihan, mereka membuat konflik yang terasa mengada-ada, ditambah unsur kematian, dan dengan solusi yang sulit dicerna secara logika.
Usaha Ian dan Uta untuk menipu sang ibu terkait kematian ayahnya jelas adalah sebuah kebodohan dan jahat di saat yang bersamaan. Entah apa yang ada di pikiran para penulis naskah saat membuat plot ini. Tidak hanya itu, setiap perasaan sedih di film ini seakan diperas habis-habisan untuk memaksa penonton mengeluarkan air mata. Pada akhirnya, kita memang akan menangis karena situasi (ditinggal orang tersayang), bukan karena karakter Ian yang sudah membuat kita tidak peduli lagi dengan keadaannya sejak film berjalan 15 menit.
Begitu sibuknya membuat karakter Ian agar relate dengan (sebagian) Gen Z, film ini seakan lupa memperdalam karakter lain. Bahkan, Dinda pun terasa seperti sempalan yang hanya come and go, tanpa ada efek besar pada cerita. Interaksi Midnight Serenade yang terasa lebih natural bisa diberi porsi lebih andaikata film tidak terlalu fokus pada Ian dan dunianya. Meski hanya sedikit, tapi band ini setidaknya memberikan selingan untuk penonton dari situasi muram dan emo, terutama celetukan Dika (Randy Danistha) yang selalu mengundang tawa.
Pada akhirnya, Perayaan Mati Rasa tidak menyisakan apa-apa selain rasa sedih dan kesal melihat kebodohan kakak-beradik ini. Production value yang bagus pun hanya bisa jadi setitik penawar di tengah penokohan dan plot yang jauh dari logika. Begitu banyak pertanyaan, tapi semua itu hanya berujung ke satu: apa iya jalan pikiran sebagian besar Gen Z seperti ini? Di saat dunia baik-baik saja, mereka malah berusaha menjadi yang paling menderita?