Memilih Paus ternyata tidak semudah membalik telapak tangan
Pemilihan Paus mungkin adalah pemilihan kepala agama paling rumit di dunia. Selain bersifat rahasia, pemilihan ini pun juga hanya bisa dilakukan oleh para kardinal yang tersebar di seluruh dunia. Di tahun 2025 sendiri, tercatat ada 252 kardinal dengan 138 di antaranya bisa mengikuti pemilihan suara dalam conclave untuk memilih Paus baru. Pemilihan inilah yang menjadi dasar dan tema utama dalam film terbaru Ralph Fiennes, Conclave, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Robert Harris yang rilis pada 2016 lalu. Deretan cast-nya pun tidak main-main karena menghadirkan aktor dan aktris dengan jam terbang tinggi. Selain Fiennes, ada pula John Lithgow, Stanley Tucci, hingga Isabella Rossellini. Kesuksesan Conclave terbukti dengan masuk delapan nominasi di 97th Academy Awards (termasuk Best Picture), enam di Golden Globe Awards (meraih Best Screenplay), dan 12 nominasi di 78th British Academy Film Awards dengan memenangkan empat di antaranya.
Setelah Paus meninggal akibat serangan jantung, Dekan Thomas Lawrence tidak bisa berduka terlalu lama karena harus menyiapkan conclave (pemilihan Paus). Itu termasuk mengundang seluruh kardinal, menyiapkan segala kebutuhan seperti akomodasi dan makanan, hingga mengatur jalannya pemilihan suara yang diadakan di Kapel Sistine. Di tengah persiapan tersebut, mendadak muncul seorang pria yang mengaku seorang kardinal. Namun, pengangkatannya sendiri sebagai kardinal dirahasiakan karena berada di daerah rawan perang, yaitu Kabul, Afghanistan. Tidak ada pilihan lain bagi Lawrence selain menerimanya karena surat penunjukan yang ia perlihatkan ternyata memang asli. Setelah persiapan selesai, pemilihan suara pun dimulai. Perlahan tapi pasti, Lawrence mulai menyingkap banyak rahasia kelam para calon Paus di tengah conclave yang membuatnya harus mengambil langkah drastis dalam menyelesaikan masalah ini.
Jika selama ini bahasan mengenai agama Katolik lebih banyak kita temui dalam bentuk film horor, melalui eksorsismenya, kali ini Edward Berger (sutradara) dan Peter Straughan (penulis naskah) memfokuskan kisah pada pemilihan Paus. Di balik dinding Vatikan, ada intrik politik yang mengiringi saat pemilihan Paus. Dikarenakan masa jabatan Paus adalah seumur hidup maka pemilihannya tentulah harus dilakukan dengan hati-hati. Karena itu, para kardinal dikurung selama conclave dan tidak bersinggungan dengan dunia luar hingga mendapatkan Paus yang baru. Ini dimaksudkan untuk mencegah pandangan mereka terpengaruh oleh apa pun situasi yang terjadi di luar. Itulah yang diangkat dalam Conclave bahwa pemilihan ini layaknya pemilihan kepala negara dengan agenda politik masing-masing.
Dengan durasi dua jam dan berkutat hanya di dalam gedung, Conclave malah menjelma menjadi drama yang menarik. Dengan naskah yang sulit diduga arahnya, banyak twist yang akan membuat kita kaget, bahkan hingga saat film akan berakhir. Dari sini, kita tahu bahwa tidak semua kardinal memiliki pandangan yang sama. Ada yang konservatif, liberal, hingga ekstrem. Semua itu terungkap lewat dialog-dialog menarik dan rapi yang tidak akan membuat kita bosan. Menariknya, Berger terkadang menyelipkan backsound menegangkan sehingga membuat para penonton bertanya-tanya, apa ada sesuatu yang terjadi? Ini sekaligus menandakan bahwa meski dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan pihak luar, namun situasi di dalam Vatikan, sama tegangnya. Salah memilih Paus, mereka bisa dicaci-maki dunia.
Tentunya, selain karena naskah dan penyutradaraan, akting juga menjadi sektor yang penting dalam membuat Conclave menjadi sebuah film yang tidak membosankan. Semua berakting dengan apik, namun Fiennes jelas menjadi ujung tombak film ini. Sebagai Kardinal Lawrence, ia memegang tanggung jawab besar untuk menjalankan conclave hingga Paus baru terpilih, sementara di sisi lain, banyak rahasia kelam dari para calon Paus yang harus ia pertimbangkan apakah akan disimpan atau dikonfrontasi. Dilema inilah yang berhasil dibawakan dengan menarik oleh Fiennes.
Sebagai informasi, perihal conclave ini pernah diangkat ke dalam film yang diadaptasi dari buku laris Dan Brown, Angels and Demons. Namun, kisahnya sendiri tidak hanya fokus pada pemilihan Paus, tapi juga masalah antimateri. Sementara, sesuai judulnya, Conclave murni membahas mengenai situasi yang terjadi di balik pintu Kapel Sistine saat para kardinal berkumpul untuk memilih Paus baru.
Conclave jelas salah satu film yang powerful, terutama karena mengangkat tradisi kuno agama Katolik yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Meski tanpa adegan aksi, tapi intrik yang dihadirkan sama menegangkannya. Dua jam pun tidak terasa panjang, apalagi melelahkan.