Seram boleh, tapi jangan lupakan logika
Layar lebar kita sedang dibanjiri horor. Hampir tiap minggu ada horor baru, baik itu yang bertahan lama atau mudah dilupakan begitu saja. Salah satu film horor yang meramaikan bulan Oktober ini adalah Pamali: Dusun Pocong. Dari judul utamanya, mudah ditebak bahwa ini merupakan sekuel lepas dari Pamali. Artinya, ia tidak melanjutkan kisah di film pertama, tapi menghadirkan kisah yang berbeda. Diadaptasi dari game Pamali bagian "The Tied Corpse", Dusun Pocong disutradarai Bobby Prasetyo dan dibintangi Fajar Nugra, Yasamin Jasem, Dea Panendra, Arla Ailani, Bukie B. Mansyur, Anantya Kirana.
Mengisahkan tiga orang Tenaga Kesehatan (Nakes) yang dikirim dari kecamatan ke sebuah desa untuk menyelidiki wabah yang melanda desa tersebut. Korban berjatuhan dan tidak diketahui sebab-musababnya, pun tidak ada obatnya. Selain tiga orang Nakes ini, ada juga dua tukang gali kubur yang ditugaskan mengubur mayat-mayat yang sudah menumpuk. Tugas mulia tersebut malah berubah mencekam saat mereka diteror pocong. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah mereka melanggar pamali desa tersebut?
Seperti judulnya, film ini sudah dibuka dengan permulaan yang cukup mencekam dan menjanjikan yang memperlihatkan pocong-pocong bergelimpangan. Satu saja sudah bikin merinding, apa lagi banyak. Tindakan orang-orang yang bersiul di malam hari yang juga diperlihatkan di awal tentunya mengundang rasa penasaran kita. Buat yang paham, pasti sudah tahu bahwa siul malam-malam itu pamali karena, konon, bisa memanggil setan. Benar saja, ketiga Nakes dan kedua tukang gali kubur pun satu demi satu diganggu penampakan.
Jujur, penampakan yang dihadirkan oleh Bobby Prasetyo di sini cukup menyeramkan. Pocong mengetuk jendela, di depan wajah saat akan membuka mukena, berdiri diam di semak-semak, hingga mengintip ke dalam WC. Penampakan ini dijamin akan bikin orang yang mudah takut bakal sulit tidur di malam hari atau takut ke kamar mandi sendiri. Bisa dibilang, penampakan pocong yang dihadirkan dibangun pelan-pelan dan muncul di saat yang tepat. Sayangnya, dengan pola kemunculan yang diulang-ulang, setelah 3/4 film berjalan, penampakan tersebut jadi terasa monoton. Kaget? Iya. Tapi, setelah itu ya sudah, tidak ada rasa takut sama sekali dibandingkan awal saat poci-poci ini muncul. Pamali: Dusun Pocong rupanya lupa bahwa semakin tidak diobral, akan semakin menakutkan.
Salah satu hal yang mungkin kurang diperhatikan oleh tim Pamali adalah logika. Ingat saat pandemi melanda pada 2020 lalu? Terlihat seperti gejala flu biasa, tapi bisa membunuh ribuan orang. Orang-orang pun dengan paniknya membeli masker, Nakes berpakaian APD lengkap di RS, bahkan saat harus menguburkan jenazah pun, mereka tetap harus memakai pakaian lengkap. Hal ini rupanya tidak diterapkan dalam Pamali: Dusun Pocong.
Dengan premis 'terjadinya wabah di sebuah desa', kita disuguhkan pemandangan bahwa di kulit warga yang terjangkit muncul borok dan nanah. Entah lewat sentuhan, udara, atau pun air, yang jelas wabah yang sudah menelan puluhan korban ini seakan hanya dianggap angin lalu oleh tiga Nakes dan dua tukang gali kubur yang dikirim kecamatan. Tanpa APD dan masker, mereka merawat para pasien hanya bermodalkan obat-obatan seadanya, sarung tangan, jas hujan, dan ucapana "Jangan dipegang, nanti nular." Sebuah cacat logika yang jelas membuat kita jadi mempertanyakan apa alasan dipilihnya Nakes sebagai karakter utama kalau naskahnya saja tidak peduli dengan hal-hal dasar.
Satu hal yang menarik sebenarnya adalah beberapa pamali yang dihadirkan di film ini. Jika di film pertama, pamali yang diangkat adalah dilarang menggunting kuku malam-malam, kali ini adalah jangan siul malam-malam dan jangan membuka payung di dalam rumah. Dua pamali ini sebenarnya menarik untuk digali karena belum banyak yang tahu dan familiar dengan larangan itu. Terutama, kedua pamali itu dijadikan twist. Sayangnya, alih-alih menggali lebih dalam mengenai twist tersebut (kenapa diputarbalikkan dari ajaran sebenarnya dan siapa yang memutarbalikkan), film ini lebih fokus untuk menakut-nakuti. Tidak salah memang, tapi tentunya penonton juga berharap mendapat sesuatu yang baru daripada hanya sekadar kaget dan teriak di dalam bioskop.