Semua romansa itu hanya ada di kepala.
Menonton film yang 80% nya menggunakan format hitam putih ini membuat kita yakin bahwa naskahnya sudah lama ada dalam kepala Yandy Laurens, direvisi berulang kali dan akhirnya bisa ditampilkan ke layar lebar saat rumah produksi Imajinari setuju untuk memproduksi film ini. Sebuah perjudian besar, tapi setidaknya Imajinari berhasil memiliki salah satu film paling berkualitas dalam perfilman indonesia ke dalam bank film mereka. Namun, akui saja film-film seperti ini bukan mainnya di ranah komersil. Tidak peduli ribuan tweet dan review yang bilang film ini bagus tidak akan membawa penonton sebanyak KKN: Di Desa Penari. Jatuh Cinta Seperti di Film-film bukan untuk semua orang.
Tidak untuk semua orang bukan berarti tidak bagus, film ini justru levelnya terlalu tinggi. Penceritaan, penyutradaraan, serta teknisnya semua juara. Jika kalian mengerti film dan penulisan kalian akan lebih mengapresiasi lagi film ini, karena jelas kalian paham kalau menciptakan film seperti JCSDF aka Jesedef ini tidak mudah. Struktur berceritanya terlihat sederhana tapi sangat komplek, runut tapi membuat kita terpana, bayangkan inception tapi versi drama romansa. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh film yang script-nya tiga bulan jadi, apalagi baru draft 2 sudah langsung syuting. Di awal-awal ceritanya memang lambat tapi semua terjawab saat masuk sequence tujuh dan delapan. Apa itu sequence? tonton saja filmnya biar paham.
Yandy sepertinya suka sekali menggunakan aktor yang pernah bekerja sama dengannya. Ringgo Agus, Nirina Zubir, Sheila Dara dan Dion Wiyoko yang pernah bekerja dengannya di Keluarga Cemara serta web series Mengakhiri Cinta Dalam Tiga Episode, kembali bermain bersama. Tentu akting mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Mereka sudah malang melintang dalam berbagai proyek film dan series di Indonesia. Jadi saat Ringgo dan Nirina kembali dipasangkan untuk berduet, mereka terlihat sangat klik dan effortless dalam menjalankan peran.
Karena filmnya menceritakan seorang penulis skenario yang ingin skenarionya difilmkan, maka sudah dipastikan akan banyak sekali referensi kehidupan perfilman indonesia di sini. Mulai dari Produser yang senangnya film horor, apa-apa horor, ngasih deadline mepet, hobi memeras emosi penonton buat gimmick jualan, lalu penulis yang hidupnya dikejar deadline hingga tipes, sutradara yang suka kabur dari set, serta situasi set di lokasi syuting yang tidak bisa diprediksi membuat astrada 1 stres berat. Yang mencari sesuap nasi dari dunia film pasti terkekeh melihat semua ini. Terlalu riil, cuy.
Di sisi lain, bagaimana bergelut dengan duka, juga jadi poin penting yang disuarakan Yandy di film ini. Bagaimana karakter Hana yang baru ditinggal suaminya tidak mau dipaksa untuk move on dan melanjutkan hidup. Sementara Bagus percaya hidup itu harus berlanjut persis seperti skenario yang ia tulis. Saat dua pemikiran ini diadu secara frontal dan kenyataan sebenarnya nanti dibuka ke pada penonton, di sinilah kita akan mengakui bahwa Yandy selain sutradara jempolan juga penulis yang brilian. Kudos.
Namun, judulnya tidak menggambarkan isinya. Jatuh cinta di film ini tidak ada manis-manisnya sama sekali seperti di film-film. Namun, jatuh cinta yang digambarkan di sini adalah jatuh cinta yang nyata saat kita berada di usia yang dewasa, hambar tapi bergizi. Ibarat makanan tidak perlu banyak bumbu ini itu yang penting tujuannya tercapai, bikin kenyang. Karena hidup ini realita bukan sesuai maunya sutradara seperti di film-film.