13 Bom di Jakarta: Penuh Aksi dengan Cerita yang Sulit Dimengerti

by Redaksi

13 Bom di Jakarta: Penuh Aksi dengan Cerita yang Sulit Dimengerti
EDITOR'S RATING    

Mungkin, ada baiknya mengetahui sedikit soal bitcoin sebelum menonton film ini

Menutup tahun 2023, Angga Dwimas Sasongko kembali menggebrak dunia perfilman Indonesia dengan 13 Bom di Jakarta. Disebut-sebut sebagai film aksi terbesar tahun ini, cast-nya cukup menjanjikan karena melibatkan deretan bintang-bintang muda dan juga senior. Mereka adalah Ardhito Pramono, Chicco Kurniawan, Lutesha, Rio Dewanto, Niken Anjani, Ganindra Bimo, Putri Ayudya, Muhammad Khan, Rukman Rosadi, dan Andri Mashadi Trinugraha. Dengan naskah ditulis Angga bersama M. Irfan Ramli yang baru saja meraih FFI 2023 untuk kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik lewat 24 Jam Bersama Gaspar, apakah 13 Bom di Jakarta berhasil membuktikan tagline yang diusung?

Jakarta diguncang teror saat sebuah mobil pembawa uang diledakkan sekelompok orang tak dikenal. Badan Kontra Terorisme pun segera turun tangan mencari tahu siapa pelakunya. Karin (Putri Ayudya) yang bertugas di markas dan mencari tahu sebab-musabab yang terjadi melalui komputer kerap bersinggungan dengan Emil (Ganindra Bimo) sebagai pemimpin tim taktis yang turun langsung ke lapangan. Saat teroris bernama Arok (Rio Dewanto) meminta tebusan berupa 100 bitcoin, kecurigaan Badan Kontra Terorisme mengarah pada dua orang pendiri platform jual-beli mata uang kripto, Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono). Berusaha membuktikan bahwa mereka tidak bersalah, kejar-kejaran antara kedua anak muda ini dengan penegak hukum pun tidak terelakkan. 


Film ini berusaha menggebrak sejak awal tanpa memberikan kesempatan untuk bernapas. Ledakan dan tembak-tembakan disajikan dengan cepat, selanjutnya disusul penyerangan tim taktis ke sebuah gedung, di mana mereka kembali terlibat baku-tembak dengan anggota teroris. Bagian ini memang berhasil membetot perhatian penonton, terutama dengan tambahan scoring tegang Abel Huray yang mengingatkan kita sekilas dengan musik khas Tenet garapan Ludwig Göransson. 

Sayangnya, begitu memasuki pertengahan, tensi jadi menurun. Cerita kemudian bercabang tiga, yaitu ketegangan di Badan Kontra Terorisme, Will dan Oscar yang berusaha menyelidiki sendiri ancaman teror ini, dan situasi di tempat Arok. Dengan banyaknya karakter yang diangkat dalam film ini, nyaris semuanya tidak mendapat latar belakang yang signifikan dan waktu yang cukup untuk membuat penonton bersimpati. Untungnya, kekurangan itu setidaknya bisa sedikit tertutupi oleh akting Putri Ayudya yang memikat dan Chicco Kurniawan yang sukses memerankan cowok nerd. Lutesha (sebagai Agnes) berhasil mencuri perhatian dengan celetukan-celetukannya yang kerap mengundang tawa atau ketidaktahuannya pada dunia bitcoin yang mungkin mewakili suara 75% penonton 13 Bom. 


Bicara soal cerita, mengusung penggunaan bitcoin sebagai unsur penting dalam film malah terasa memberi jarak. Tidak semua orang paham soal bitcoin, bahkan setengah dari warga Indonesia bisa jadi tidak tahu mengenai keberadaan mata uang digital ini. Karena itu, memakai bitcoin, ditambah alasan yang sulit dimengerti kenapa bitcoin yang dipilih Arok untuk menggantikan uang fisik jelas akan membuat penonton bingung. Banyak istilah finansial dan bitcoin yang terlontar. Ada upaya untuk menjelaskan semua itu melalui karakter Will (Ardhito), tapi bitcoin bukan sesuatu yang mudah dijelaskan, apalagi sambil lalu, sehingga apa pun "edukasi ringan" yang coba dilakukan akan lewat begitu saja. Ini jelas berbeda dengan penjelasan soal seni dan sejarah dalam film Visinema Pictures sebelumnya, Mencuri Raden Saleh, yang lebih bisa diterima. 

Film ini banyak menghadirkan efek praktikal yang memang diakui cukup memukau. Namun, untuk ledakan bom yang seharusnya menjadi unsur utama cerita malah terasa biasa saja. Kebanyakan hanya disorot dari jauh dan tidak memperlihatkan kekacauan yang terjadi. Itu masih belum ditambah beberapa hal yang terasa kurang pas secara logika. Misalnya, kantor Indodax yang alih-alih berada di perkantoran mewah Sudirman atau Thamrin, malah berada di ruko gelap nan suram. Rasanya sulit dipercaya bahwa ada startup yang sudah berdiri belasan tahun dan mengurus keuangan yang tidak sedikit memilih berkantor di ruko yang menyerupai ITC. 

Di luar berbagai kekurangan tersebut, kita bolehlah mengacungi jempol atas keberanian Angga Dwimas Sasongko memilih genre yang jarang ada di film Indonesia lewat 13 Bom di Jakarta. Tidak mudah mewujudkannya, tapi kalau sineas kita berani terus mencoba dan menyempurnakan apa yang sudah ada, bukan tidak mungkin ke depannya, film-film aksi kita bisa semakin membanggakan.