Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 -- Megah, Tapi Kurang Bertaji

by Dwi Retno Kusuma Wardhany

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 -- Megah, Tapi Kurang Bertaji
EDITOR'S RATING    

Versi baru yang segar, tapi kurang memuaskan

Sejak serial televisinya tamat berdekade lalu, rasanya sudah lama tidak ada lagi produk komersil dari pendekar legendaris karangan novelis Bastion Tito ini. Sejak sang pengarang meninggal, kisah Wiro juga terhenti. Banyak yang mencoba melanjutkan, tapi gagal karena tidak bisa menyamai gaya penceritaan Bastian Tito. Hingga pada tahun 2017, Lifelike Pictures bekerja sama dengan 20th Century Fox Asia memberitahukan mereka akan membuat film Wiro Sableng. Dengan mengusung standar produksi internasional serta menggamit sutradara sekaliber Angga Dwimas Sasongko, Vino G. Bastian sebagai Wiro, ditambah Marsha Timothy, dan Sherina Munaf, proyek Wiro Sableng ini resmi menjadi produksi paling ditunggu pada tahun 2018.

Pertanyaan paling besar tentu bagian mana dari kisah Wiro yang akan diangkat ke dalam film. Jika Anda pembaca novelnya, tentu tahu jika novel Wiro ada ratusan judul, kadang ada beberapa judul yang ceritanya berkaitan menjadi seri pendek. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan banyak orang berapa buku yang akan dilebur dalam film awal Sang Pendekar 212 ini. Namun, ternyata pihak studio ingin membuat sebuah semesta baru dari kisah sang pendekar. Cerita origin ini tidak dilandaskan pada buku tertentu. Dikarenakan semesta baru, studio juga dengan mudah menggunakan tokoh-tokoh terkenal di novel Wiro untuk muncul di film ini, walau sejatinya di novel mereka baru muncul setelah belasan atau puluhan judul.


Karena bukan berlandaskan judul tertentu, cerita Wiro Sableng ini menjadi cukup segar bagi penonton umum. Jalan ceritanya mirip dengan origin story kisah superhero-superhero besar di Hollywood sana. Sudah terprediksi dengan mudah ke mana arahnya. Namun, untuk film aksi seperti ini, jalan cerita yang kompleks dan rumit bukan tujuan utama.

Hal paling sensasional dari film ini adalah skala produksinya yang luar biasa besar. Semua set dibangun dari awal. Penggunaan stuntman dan pemain ekstra mencapai ratusan orang. Selain itu, untuk area hutan mereka menggunakan lokasi asli dengan tambahan CGI. Hasilnya sangat memanjakan mata. Teknis pergerakan kameranya juga smooth dan butuh usaha ekstra untuk mendapatkan gambar-gambar indah. Kerja keras memang takkan membohongi hasil.

Yayan Ruhiyan yang memerankan Mahesa Birawa, juga merangkap sebagai fighting coreographer. Pengalamannya dalam mengkreasi banyak adegan laga sangat membantu menerjemahkan jurus-jurus di novel Wiro Sableng ke dalam kamera. Walau tidak se-intens pertarungan di The Raid, namun adegan-adegan laga di film ini patut diacungi jempol. Apalagi para pemain Wiro tidak banyak yang memiliki latar belakang bela diri.


Film ini bertaburan nama-nama besar di perfilman Indonesia, ada Dwi Sasono, Lukman Sardi, Marcella Zalianty, Happy Salma, Dian Sidik, dan Teuku Rifnu Wikana. Mereka juga digabung dengan talenta baru, seperti Aghniny Haque, Fariz Alfarizi, Yusuf Mahardika, dan Gita Arifin. Kolaborasi ini sangat padu di layar, akting aktor senior tidak perlu diragukan lagi, sedangkan dari generasi baru, Aghniny Haque tampaknya punya masa depan cerah di perfilman Indonesia. Di luar nilai plus ini, akting Fariz Alfarizi terasa agak mengganggu sebagai Bujang Gila Tapak Sakti dan Sherina yang entah kenapa terlihat kaku sehingga cukup menjadi perhatian sepanjang film.

Durasi tampaknya menjadi kekurangan lain dari film ini. Walau dengan durasi 123 menit dirasa sudah cukup, tapi masih ada beberapa hal yang tampaknya belum terselesaikan hingga credit title muncul. Beberapa tokoh juga sepertinya kurang penjelasan dan hanya sebagai pelengkap saja. Yang sangat disayangkan adalah karakter terkenal seperti Kakek Segala Tahu dan Bidadari Angin Timur kurang mendapat eksplor lebih dalam di film ini. Karakter besar ini jelas punya andil penting dalam cerita, tapi sepertinya di akhir cerita mereka tidak ada makna kenapa harus muncul.


Terakhir adalah pengenalan jurus. Bagi yang membaca novelnya, tentu paham sesakti apa jurus Pukulan Matahari atau bagaimana gerakan konyol jurus Kunyuk Melempar Buah. Walau mungkin agak terasa janggal jika setiap jurus harus disebut keras-keras, tapi setidaknya bisa dijadikan selipan-selipan dialog agar penonton paham jurus apa yang sedang dikeluarkan Wiro atau musuhnya. Karena salah satu unsur menarik dari novel Wiro ini adalah nama jurusnya yang unik-unik dan terkenal. Dramatisasi dari jurus-jurus ini juga kurang sekali, padahal ada beberapa jurus yang jika dikeluarkan akan menjadi CGI-vaganza untuk memuaskan mata penonton.

Terlepas dari beberapa kekurangannya, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 patut diapresiasi karena sudah menaikkan standar perfilman lokal dari banyak aspek. Filmnya pun asyik untuk diikuti walau banyak kekurangan di sana-sini. Setidaknya, kerinduan akan Wiro Sableng dan film silat kolosal bisa terobati.