Ghost in the Shell: Kengerian Teknologi yang Lepas Kendali

by Prima Taufik

Ghost in the Shell: Kengerian Teknologi yang Lepas Kendali
EDITOR'S RATING    

Saat Android tak pernah terlihat secantik ini.

 

Scarlett Johansson semakin matang sebagai aktris. Setelah sukses berperan sebagai Black Widow di Marvel Cinematic Universe, ia  juga turut menjadi peran utama untuk film-film yang tidak terlalu mainstream seperti Lucy dan Her. Sekarang ia sekali lagi menjadi peran utama dari sebuah film yang diangkat berdasarkan manga populer Jepang berjudul Ghost in the Shell.  Di sini, Scar-Jo berperan sebagai Mira Killian seorang android sibernetik yang bekerja di unit anti kejahatan dunia maya bernama Sector 9. Walaupun manga ini sudah banyak dikenal orang dan beberapa kali diangkat dalam berbagai medium, tapi untuk kalangan penonton awam, jelas Johansson-lah yang menjadi magnet dari film ini.
 
Rupert Sanders (Snow White and The Huntsman) berhasil menciptakan visual yang indah sekaligus suram dalam potret Jepang abad ke-21. Teknologi tampak sudah menggantikan segala aspek kehidupan manusia sehingga ketergantungan pada teknologi begitu tinggi. Jadi walaupun tampak canggih dan modern tapi permainan warna yang ditampilkan membuat kesan suram dan monoton pada layar. Kelebihan ini juga ditampilkan pada manusia-manusia yang pada jaman ini sebagian besar tubuh mereka sudah dicangkok dengan komputer sehingga kebanyakan manusia tampil seperti setengah robot.
 
 
Hanya mengenakan pakaian superketat polos yang senada dengan lekuk tubuhnya membuat semua mata pria normal tidak akan berkedip setiap Scar-Jo tampil di layar. Pemeran Natasha Romanov yang di film ini berperan sebagai robot, mampu dengan baik menampilkan kesan kaku dari segi mimik wajah, gaya bicara, hingga postur tubuh yang membuatnya menonjol dari lawan aktingnya yang lain. Namun, saat melakukan adegan aksi, dia bisa melakukannya dengan luwes dan gesit. Bisa dikatakan, 90% dari film ini terangkat dari kemampuan Johansson beraksi di layar lebar.
 
Secara plot cerita, tidak ada ide baru yang ditampilkan dalam Ghost in the Shell ini. Kisah mengenai pembalasan dendam yang ternyata pelakunya orang dekat sudah berkali-kali disajikan di layar lebar. Hanya setting dan situasinya saja yang berbeda-beda. Untuk Ghost in the Shell sendiri film ini sangat lambat di setengah awal film, dialog-dialog yang diucapkan tampak dipaksakan untuk menjadi sebuah quote, dan ada beberapa editing yang mengganggu serta adegan yang tidak jelas maksudnya apa. Lewat dari pertengahan, film ini mulai asik dan seru untuk diikuti sampai selesai. 
 
Sedikit penambahan adegan aksi akan membuat film ini bisa jadi lebih bagus lagi. Memiliki potensi untuk menjadi sangat seru, sayangnya film hanya terasa tanggung dan akhirnya hanya berasa cukup saat selesai menontonnya. Kenyentrikan masyarakat dan kecanduan mereka akan teknologi harusnya bisa dieksplor lebih jauh. Bukan film yang jelek, tetapi tidak sampai membuat kita berdecak kagum juga. Bagi yang butuh tontonan yang sedikit berbeda, tapi masih punya nilai hiburan Ghost in the Shell bisa menjadi pilihan di akhir bulan ini.