Chaos Walking: Pondasi yang Terlalu Lemah Untuk Semesta Distopia Baru

by Dwi Retno Kusuma Wardhany

Chaos Walking: Pondasi yang Terlalu Lemah Untuk Semesta Distopia Baru
EDITOR'S RATING    

Cerita berantakan, banyak plot hole, dan karakter yang kurang kuat jadi kekurangan film ini.

Hollywood pernah getol mengangkat novel-novel bergenre young adult beberapa waktu lalu. Semuanya nyaris punya tema yang sama: seorang remaja yang bukan siapa-siapa ternyata punya peran besar dalam memperbaiki tatanan dunia distopia yang dia tinggali. Kebanyakan, musuh mereka adalah orang dewasa yang berusaha menghancurkan mereka dengan segala cara. Beberapa film dengan genre tersebut di antaranya Divergent, Maze Runner, The Darkest Mind, hingga The Hunger Games yang melambungkan nama Jennifer Lawrence.

Kembali mengangkat genre yang sama, tapi dengan pendekatan berbeda, hadirlah Chaos Walking. Diadaptasi dari novel karya Patrick Ness, The Knife of Never Letting Go, film ini disutradarai Doug Liman dan dibintangi dua bintang muda yang namanya naik daun pasca membintangi dua franchise besar, Daisy Ridley dalam trilogi terbaru Star Wars dan Tom Holland yang memerankan Spider-Man.

Tidak mudah mengadaptasi buku dengan ketebalan nyaris 500 halaman menjadi film berdurasi dua jam. Tentunya, banyak bagian yang dihilangkan, ditinggalkan, atau dipangkas. Diharapkan dengan waktu yang singkat itu, penonton akan bisa memahami dunia yang disajikan dan tertarik menyaksikan kelanjutannya. Sayangnya, itu tidak terjadi dalam Chaos Walking. 


Dikisahkan bahwa para pria yang tinggal di sebuah planet yang mirip Bumi ini memiliki Noise. Noise sendiri adalah pikiran mereka yang tervisualkan dalam bentuk asap berwarna dan bisa dilihat maupun didengar orang lain. Sayangnya, tidak ada penjelasan mengenai apa itu Noise, kenapa hanya dimiliki pria, dan dampaknya bagi mereka. Apa penyebab mereka kabur dari Bumi dan datang ke planet ini juga tidak diangkat. Musuh utama yang disebut-sebut bernama Spackle juga tidak dijelaskan lebih lanjut dan hanya muncul satu kali. 

Kehadiran Tom Holland dan Daisy Ridley cukup jadi penyelamat film ini. Keduanya berusaha keras menerjemahkan karakter Todd Hewitt dan Viola sebaik mungkin. Namun, tipisnya latar belakang karakter membuat keduanya tidak bisa berbuat banyak. Mikkelsen yang biasanya tampil garang sebagai penjahat terasa kurang mengancam. Karakter Pendeta (David Oyelowo) yang seharusnya menjadi antagonis utama malah seperti karakter tidak jelas yang hanya marah-marah dan terus meneriakkan kata-kata "Hari Penghakiman" tanpa dijelaskan apa maksudnya.


Liman nampaknya lupa bahwa latar belakang sangat penting untuk menjelaskan dunia distopia ini bagi penonton yang tidak membaca bukunya. Latar belakang Noise, latar belakang Walikota (Mads Mikkelsen), latar belakang Prentisstown, latar belakang Todd dan keluarganya, hingga latar belakang Viola. Penonton tidak diajak untuk dekat dan bersimpati pada tokohnya. Liman tampak terlalu fokus menyorot perjalanan Todd dan Viola dengan menyelipkan beberapa jokes yang kebanyakan muncul karena pikiran Todd yang melantur. Jokes yang cukup menghilangkan sedikit kebosanan.

Tentunya, Lionsgate berharap film ini bisa meneruskan tongkat estafet The Hunger Games yang sukses sehingga dibuat berseri. Namun, dengan kurang kuatnya film pertama sebagai pondasi cerita, sepertinya kecil kemungkinan Chaos Walking akan dilanjutkan ke film kedua. Padahal, bukunya sendiri merupakan salah satu best seller yang menjanjikan. Mungkin, era young adult distopia seperti ini memang sudah habis masanya di perfilman Hollywood.