Enam tentara berkumpul untuk melawan tiran
Perfilman Indonesia masih jarang membuat film laga
dengan bumbu CGI. Teknologi kita belum semaju negara-negara Asia lain, seperti
Jepang atau Korea Selatan, sehingga terkadang CGI-nya tampak dibuat seadanya. Namun,
hal ini tidak membuat para sineas berkecil hati. Mereka berusaha mewujudkannya
dan salah satunya adalah Foxtrot Six
yang sudah bisa kita saksikan di bioskop.
Angga (Oka Antara), mantan Marinir yang kini menjadi anggota
dewan, mengajukan proposal berjudul Heroic Act untuk mengembalikan nama baik
pemerintahan setelah dituding sebagai penyebab kelaparan yang mendera Indonesia
oleh partai pemberontak Reform. Namun, karena suatu kejadian, Angga malah
terlibat dengan Reform dan menjadi buronan negara yang dikejar oleh Wisnu
(Edward Akbar). Dalam usahanya memulihkan kestabilan negara, ia mengumpulkan
teman-temannya, Oggi (Verdi Solaeman), Bara (Rio Dewanto), Tino (Arifin Putra),
Ethan (Mike Lewis), dan Spec (Chicco Jerikho) untuk membeberkan rencana busuk
Partai Piranas.
Membangun kisah bertema semi-dystopia seperti ini
memang tidak mudah. Set dan naskahnya harus dipikirkan dengan matang agar tidak
menimbulkan tanda tanya. Adegan laga dan efek pun juga harus dipikirkan
baik-baik agar tidak mengundang caci-maki dari penonton yang sudah terbiasa
disuapi film-film Hollywood.
Foxtrot
Six bisa dibilang cukup niat. Hal ini terlihat dari
penggunaan visual efek untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang dilanda
kehancuran dan kelaparan, bagian luar markas Partai Piranas, dan markas Reform
di sebuah mal terlantar. Beberapa green
screen masih terasa kasar, tapi tidak terlalu kentara. Senjata dan armor suit yang dihadirkan juga terlihat
canggih.
Menempatkan film ini di rating 21+ mungkin menjadi
pilihan yang tepat. Seperti The Raid dan
The Raid 2, film ini banyak mengumbar
kekerasan dengan darah berceceran di mana-mana. Namun, itu semua membuat aksi
dalam film ini tidak setengah-setengah. Koreografi yang digarap oleh Very Tri
Yulisman (The Raid 2) pun patut
diacungi jempol karena sanggup membuat penonton tidak berkedip. Namun, pergerakan
kamera yang kurang lihai dalam menangkap momen-momen laga ala John Wick membuat adegan yang seharusnya
menegangkan malah terasa kurang “nendang”.
Kekurangan juga ada pada naskah yang terasa tidak digali
secara mendalam, khususnya di sisi pengembangan karakter. Selain Angga, anggota
Foxtrot yang lain seakan muncul begitu saja, tanpa latar belakang. Siapa Oggi,
Bara, Tino, dan Ethan tidak dijelaskan di sini. Begitu pun dengan motif Angga hingga
akhirnya menjadi anggota dewan yang mendukung Partai Piranas juga tidak diungkap
secara jelas. Terasa ada lompatan adegan yang cukup besar di beberapa bagian.
Apakah itu pertanda adanya versi Director’s
Cut?
Pertanyaan terbesar yang muncul setelah menonton film
ini adalah: kenapa memakai bahasa Inggris sebagai Bahasa Ibu? Apakah demi masuk
pasar internasional? Namun, itu tidak bisa menjadi alasan karena tanpa bahasa Inggris pun, film-film Korea Selatan tetap
berhasil di luar negara mereka. Apalagi, suara beberapa aktor di-dubbing dan bahasa Inggris yang dipakai
terasa kurang luwes. Mengingat latar kejadiannya yang tetap memakai Indonesia,
seharusnya tidak masalah jika tetap memakai bahasa Indonesia.
Meski ada kekurangan di sana-sini, namun Foxtrot Six cukup berhasil menghadirkan
film aksi laga yang menegangkan. CGI-nya pun tidak bisa dianggap remeh. Dan, jangan
beranjak setelah film selesai karena ada ending
credit scene yang cukup menarik.