Kisah cinta Hema dan Starla yang sederhana, malah dikemas secara berlebihan
Siapa
sangka bahwa webseries yang dibuat
dari lagu milik Virgoun berjudul “Surat Cinta untuk Starla” meraih kesuksesan
besar. Webseries yang tiap episodenya hanya berdurasi sekitar tujuh menit ini
ditonton oleh 2 juta orang di tiap episode dan semakin mencuatkan dua nama bintang
mudanya, Jefri Nichol dan Caitlin Halderman. Tidak heran jika akhirnya rumah
produksi yang sering membuat film-film remaja, Screenplay Productions, tertarik
membeli haknya dan mengadaptasinya ke layar lebar. Dua pemainnya tentu saja
diboyong untuk kembali memerankan karakter Hema dan Starla.
Jika
pada webseries, dikisahkan bagaimana Hema dan Starla bertemu, maka filmnya
sendiri meneruskan kisah tersebut. Ada beberapa potongan adegan yang disamakan
dengan kejadian di webseries-nya sekadar untuk mengingatkan orang-orang yang
sudah menyaksikannya cara kedua insan ini bertemu. Namun, adegan tersebut justru
malah membingungkan orang-orang yang belum menyaksikan SCUS versi webseries,
alih-alih memberikan penjelasan.
Konflik
yang disematkan Screenplay Productions dalam SCUS The Movie ini sendiri bisa
dibilang bukan konflik besar dan lebih banyak dipicu oleh kesalahpahaman Starla.
Sayangnya, konflik tersebut tidak memiliki dasar yang kuat sehingga penonton bukannya
ikut simpati dengan kedua pemain, malah kesal. Tisa TS rupanya sadar bahwa film
ini berjalan datar sehingga mencoba memasukkan twist besar di akhir cerita. Namun, penonton sudah keburu bosan dan
lelah mengikuti perjalanan Hema dan Starla yang seakan hidup di dunia mereka
sendiri dan tidak relate dengan dunia
nyata. Twist ini pun terkesan
dipaksakan dengan penyelesaian yang juga seadanya.
Sebenarnya,
ada dua tokoh yang berpotensi menimbulkan konflik alih-alih menghadirkan twist
baru yang maksa. Kehadiran Athena
yang sebenarnya sanggup memicu konflik malah buru-buru “dimatikan”. Tisa TS
rupanya tidak tega menjadikan keduanya seteru dan malah mengubah Athena menjadi
sosok yang justru seperti menjadi tempelan belaka. Pun begitu dengan kemunculan
Bimo yang memutuskan untuk mencoba merebut kembali hati Starla, dimentahkan
hanya beberapa menit. Penulis naskahnya seakan takut bahwa fokus cerita akan
melebar dan terlalu sinetronish.
Kesederhanaan yang diperlihatkan dalam webseries-nya, rupanya dianggap Screenplay Productions tidak akan menarik para penonton remaja. Mereka pun meng-upgrade sedemikian rupa sehingga semua yang ada di film ini dibuat semewah mungkin. Mulai dari mobil Starla hingga mobil Athena yang, uhm, berlebihan. Meski tema “jatuh cinta dengan cepat” bisa jadi tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi menyaksikan Surat Cinta Untuk Starla The Movie membuat kita merasa bahwa tema sederhana ini sedang terjadi di sebuah dunia yang isinya hanya remaja bersenang-senang dan mobil mewah. Deretan pemain senior yang dimasukkan sebagai pemeran pendukung pun terasa tidak banyak membantu, terutama Meriam Bellina yang seakan dipaksa untuk komikal dengan logat khas Sunda-nya.
Satu-satunya
hal yang mungkin bisa menyelamatkan film ini adalah akting Jefri Nichol yang cukup
menjanjikan untuk berkembang menjadi aktor berkualitas. Namun, dengan catatan,
jika mendapatkan naskah dan sutradara yang juga berkualitas. Musik Virgoun yang
dilantunkan sepanjang film juga cukup menghibur meski terasa sekali bahwa hanya
dua lagu yang ditonjolkan, yaitu “Surat Cinta untuk Starla” dan “Bukti”.
Meski
masih memakai formula yang sama, toh film ini sukses menjaring penonton remaja.
Terbukti dengan perolehan pendapatan yang nyaris menyentuh angka 1 juta dalam
dua minggu penayangannya. Screenplay Productions kembali menunjukkan tajinya
sebagai rumah produksi yang mengerti keinginan remaja masa kini dengan
menghadirkan kisah cinta penuh mimpi.