Dread Out: Adaptasi Game Horor yang Tidak Menyeramkan

by Dwi Retno Kusuma Wardhany

Dread Out: Adaptasi Game Horor yang Tidak Menyeramkan
EDITOR'S RATING    

THIS REVIEW MAY CONTAIN SPOILER!

 

Dread Out, game horor lokal yang laris, rupanya menarik minat beberapa pihak untuk diangkat menjadi film layar lebar. Banyak yang memuji Dread Out sebagai salah satu game yang menyeramkan. Makanya, saat dikabarkan akan diadaptasi menjadi film, ekspektasi penonton, baik yang sudah memainkan game-nya atau pun belum, jadi tinggi. Selain karena berdasarkan game horor laris, film ini juga “menjual” nama Kimo Stamboel sebagai sutradara dan sederet pemain remaja terkenal sebagai pemeran utamanya.

Adegan pembuka Dread Out sebenarnya cukup menarik. Namun sayang, dubbing yang buruk membuat penonton mungkin tidak paham dengan kata-kata beberapa tokohnya sehingga pondasi yang ingin diberikan oleh sutradara untuk cerita selanjutnya tidak terdengar. Adegan pembuka yang seharusnya memberikan banyak petunjuk terhadap apa yang terjadi kemudian juga bisa dibilang lemah. Pertanyaan yang muncul bahkan kurang terjawab hingga film berakhir, misalnya sekte apa yang menyerang keluarganya saat Linda masih kecil? Kenapa keluarga Linda yang diserang? Apa tujuan mereka membuka portal gaib?

Caitlin Halderman yang memerankan Linda dewasa pun juga rupanya masih perlu banyak belajar lebih ekspresif dalam bermain film horor. Rasa takut yang diperlihatkannya terasa kurang, bahkan akting Susan Sameh jauh lebih baik saat menampilkan rasa ketakutan. Jefri Nichol yang merupakan salah satu bintang remaja yang sedang digandrungi saat ini malah seperti hanya jadi tempelan. Ia bisa digantikan aktor muda manapun untuk memerankan Erik. Menghadirkan enam orang karakter dan memberi mereka porsi sama besar memang tidak mudah. Selain Linda, praktis lima orang sisanya hanya menjadi “penyemarak” saja. Dua di antaranya dibuat sangat menyebalkan. Bahkan, Irsyadillah  yang seharusnya menjadi karakter dengan twist, gagal mengagetkan karena hal yang sama terjadi lagi seperti adegan pembukanya: dubbing yang buruk.


Film ini penuh efek suara. Bukannya menakutkan, malah terasa mengganggu. Efek-efek itu hadir melalui gerakan, tindakan, hingga omongan tiap karakter (yang bahkan muncul sayup-sayup pada saat karakter utama sedang bicara). Saking “ramainya”, saat muncul efek suara yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti, penonton sudah keburu “lelah”. Dialog para pemain yang seharusnya menjadi salah satu petunjuk yang “diperhatikan” penonton agar misteri dalam film ini terpecahkan malah membuat tertawa, terutama alasan kenapa hanya Linda yang bisa melawan setan-setan di portal gaib dengan memakai flash ponselnya.

Dread Out memang memiliki tema klise, yaitu sekelompok remaja yang bermain-main dengan misteri dan akhirnya kena batunya. Meski berusaha menawarkan sesuatu yang baru, tapi dengan banyaknya kekurangan, film ini jadi terasa melelahkan.

Artikel Terkait