Dua Hati Biru: Tidak Hilang Pesona Meski dengan Cerita Berbeda

by Redaksi

Dua Hati Biru: Tidak Hilang Pesona Meski dengan Cerita Berbeda
EDITOR'S RATING    

Pelengkap kisah Bima dan Dara yang sempurna

Sejak adanya hint soal penggarapan film Dua Hati Biru, nggak sedikit yang mempertanyakan akan dibawa ke mana lagi cerita Bima dan Dara. Wajar, karena ending Dua Garis Biru (2019), sudah dirasa pas dan cukup. Belum lagi, Aisha Nurra Datau menggantikan Adhisty Zara untuk memerankan karakter Dara —yang juga sudah kadung melekat.

Nyatanya, Dua Hati Biru berhasil menghadirkan kehangatan lain. Sebelumnya di Dua Garis Biru, kita diajak ikut merasakan kalutnya dua remaja dan keluarga masing-masing dalam menghadapi kejadian hamil di luar nikah. Di sini, tawa dan tangis dihadirkan dengan lebih matang, berani, dan apa adanya. Banyak dialog yang menohok, seolah kita diajak ikut mengantar Bima, Dara, dan keluarga besar mereka untuk bertumbuh bersama.

Dua Hati Biru dibuka dengan kehidupan Bima (Angga Yunanda) yang mengasuh Adam di rumah ayah (Arswendy Bening Swara) dan ibu (Cut Mini). Bekerja sebagai karyawan playground, Bima kadang membawa Adam ke tempat kerjanya. Di sisi lain, Dara (Aisha Nurra Datau) melanjutkan studi sambil mencari nafkah di Korea. Video call, mengirim hadiah, interaksi rutin bersama keluarga Dara (Lulu Tobing dan Maisha Kanna) dilakukan demi kehadiran Dara tetap dirasakan di hati Adam. Begitu Dara memutuskan pulang, hal yang selama ini terasa bisa dijalani mulai ada gesekannya. Segala beban yang dipendam dari berbagai pihak muncul satu persatu.


Untuk yang sudah kadung cinta dengan film pertamanya, percayalah, sekuel ini pun tidak kehilangan pesonanya. Lewat durasi 106 menit, konflik yang diangkat di Dua Hati Biru sungguh terasa komplit. Alasan kenapa sosok ayah Dara (Dwi Sasono) tidak muncul lagi pun terjawab di sini. Naskah apik yang diolah duo sutradara Gina S. Noer dan Dinna Jasanti berhasil ‘mencolek’ banyak hal sensitif yang ada dalam keluarga muda. Lebih kompleks, lebih menggigit, dan juga lebih dewasa dalam penyampaian serta penyelesaian klimaksnya.

Konflik dan tekanan dari tempat kerja? Ada. Tidak berdaya saat berhadapan dengan orangtua atau mertua yang merasa lebih tahu dan mampu? Ada. Saling teriak adu ego di depan anak dengan dalih paham mana yang lebih baik? Ada. Saking gamblangnya sampai membuat penonton ikut terdiam kemudian sadar, banyak sekali konflik film ini yang terjadi di dunia nyata. Apalagi ketika kamera menyorot Adam. Kita ikut merasa gelisah, betapa tidak nyamannya tumbuh sebagai anak umur 4 tahun yang terus mendengar perselisihan dalam keluarga.


Di sisi lain, angin segar dan interaksi manis dari film ini jelas terasa lewat hadirnya karakter Adam (Farrell Rafisqy) dan Iqy (Keanu Angelo). Meski masih balita, Farrell mampu mewujudkan karakter Adam yang manis, polos, cerdas, dan menyenangkan lewat dialog dan celetukannya yang lucu. Sementara hadirnya Keanu sebagai Iqy yang ceplas-ceplos namun selalu mendukung tanpa menghakimi bikin kita semakin paham, betapa berharganya punya sahabat sekaligus support system dalam menjalani hidup yang keras. Hadirnya sosok psikolog dan lingkungan tetangga yang suportif juga membuka ruang diskusi lebih dalam, betapa kita butuh membicarakan permasalahan keluarga kepada orang yang tepat.

Secara keseluruhan, Dua Hati Biru sungguh cocok jadi tontonan yang menghangatkan hati. Meski bukan lewat cerita yang selalu manis, film ini bisa jadi epitome yang pas untuk menggambarkan keluarga yang sebenarnya. Manis, pahit, getir, semua ditampilkan mewakili arti cinta yang sesungguhnya. Cinta dalam bentuk keluarga yang penuh kekurangan namun bersedia tumbuh, berusaha lebih baik, dan saling memaafkan lewat caranya masing-masing.