28 Years Later: Meski Kurang Menggigit, Drama dan Aksi Tetap Solid

by Redaksi

28 Years Later: Meski Kurang Menggigit, Drama dan Aksi Tetap Solid
EDITOR'S RATING    

Anak kecil jadi jagoan, hasilnya kentang

Danny Boyle dan Alex Garland kembali ke salah satu franchise potensial yang sempat tersia-siakan cukup lama. Pada masanya, 28 Days Later adalah salah satu film zombie yang memorable. Sebagai film aksi, 28 Days Later tetap mengedepankan sisi drama sehingga walau kita dibuat tegang namun feel-nya tetap terasa manusiawi dan humanis. 28 Days Later dianggap cukup sukses hingga lima tahun kemudian sekuelnya muncul dengan nama 28 Weeks Later. Masih dengan tema yang sama, tetapi mengambil setting dan karakter yang berbeda dari versi pertama. Sekuelnya walau tidak sebagus yang pertama, tapi bisa dibilang cukup sukses sehingga agak disayangkan 28 Years Later baru dibuat sekarang, 23 tahun sejak film pertama rilis.

Gaya editing cepat khas Danny Boyle memberikan warna yang segar dalam 28 Years Later. Dengan potongan-potongan gambar yang cepat, penuh energi, dan kadang bahkan sedikit kacau, Boyle menciptakan atmosfer yang tidak hanya mencekam tapi juga terasa sangat hidup. Peralihan gambar yang dinamis memperkuat ketegangan di banyak adegan, terutama ketika para karakter dikejar oleh gerombolan zombi yang mengamuk. Gaya ini membawa kita seolah-olah berada di tengah kekacauan, mempercepat denyut nadi, dan mengingatkan pada estetika visual khas film Trainspotting atau Slumdog Millionaire yang juga digarap Boyle. Namun, bagi sebagian penonton, gaya editing ini bisa terasa melelahkan jika tidak dibarengi dengan pengembangan adegan yang cukup dalam.

Sayangnya karakter utama film ini bocah berusia 12 tahun, sebuah keputusan naratif yang cukup berani namun berdampak pada tone keseluruhan film. Alih-alih menampilkan aksi yang brutal atau penuh darah, film ini justru lebih menekankan pada perspektif kepolosan, ketakutan, dan ketahanan sang anak dalam menghadapi dunia yang hancur. Akibatnya, adegan-adegan aksi tidak pernah benar-benar menyentuh level kebrutalan film-film zombie sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan 28 Weeks Later. Meski ini memberi nuansa baru dalam franchise-nya, bagi penggemar horor dan aksi yang lebih intens, pendekatan ini bisa terasa kurang menggigit, walau masih lumayan seru.


Dari segi aksi, 28 Years Later memang tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru. Susunan adegan kejar-kejaran, penyergapan di tempat sempit, hingga pelarian dalam gelap sudah sering kita lihat dalam film zombie lainnya. Namun, ada satu elemen visual yang mencuri perhatian, yaitu desain dan pergerakan para zombie yang menyerupai raksasa dalam anime Attack on Titan. Tubuh mereka kurus, cepat, dan penuh ekspresi liar; gerakan mereka brutal namun lincah, dengan kamera yang sering menangkapnya dari sudut-sudut ekstrem. Ini memberi kesan bahwa ancaman di film ini bukan sekadar wabah, tapi juga virus yang berevolusi.

Walaupun film ini tidak sepenuhnya mengejutkan dari segi cerita atau inovasi visual, perpaduan antara drama dan aksi tetap terasa solid. Ketegangan dibangun perlahan namun konsisten, sementara momen-momen emosional di antara karakter tetap diberi ruang untuk berkembang, terutama interaksi Spike (Alfie Williams) dengan Ibunya Isla (Jodie Comer). Ini membuat film ini tetap enak untuk dinikmati, baik oleh penggemar lama maupun penonton baru. Namun, terasa jelas bahwa 28 Years Later sengaja dihadirkan sebagai pembuka untuk trilogi baru. Beberapa subplot dibiarkan menggantung, karakter penting diperkenalkan tanpa resolusi, dan dunia yang dibangun terasa belum lengkap. Hal ini bisa membuat penonton merasa kurang puas secara naratif, tetapi sekaligus menciptakan antisipasi tinggi untuk dua film lanjutan yang dijanjikan.