Ringgo Agus Rahman kembali jadi bapak yang bikin nangis
Sampai sekarang ada cukup banyak film Indonesia yang diadaptasi dari film Korea Selatan, namun baru sedikit yang ‘awet’ dibahas dan berkesan sampai bertahun-tahun di hati penonton. Dua di antaranya adalah Miracle in Cell No.7 (2022) dari film berjudul sama, dan film Bebas (2019) yang diadaptasi dari Sunny (2011). Di tahun 2025 ini, sepertinya daftar film adaptasi yang indah itu bertambah satu. Panggil Aku Ayah hadir, membawa trio ansambel Ringgo Agus Rahman, Boris Bokir, dan aktris cilik Myesha Lin. Diadaptasi dari Pawn (2020) yang juga dicintai banyak orang, Panggil Aku Ayah berhasil memberikan kesan hangat dan hati penuh cinta begitu film selesai diputar.
Panggil Aku Ayah mengisahkan anak kecil bernama Intan (Myesha Lin) yang dijadikan jaminan ke dua penagih hutang, Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Tatang (Boris Bokir), karena sang ibu Rossa (Sita Nursanti) tidak sanggup membayar. Janji hutang lunas dalam seminggu nyatanya tidak ditepati. Rossa justru hilang tanpa kabar. Alhasil Dedi dan Tatang mau tidak mau menampung Intan sampai sang ibu datang menjemput. Hari demi hari berlalu, sampai Intan (Tissa Biani) tumbuh dewasa. Begitu satu-persatu orang tuanya bisa ditemui, Dedi yang sudah seperti ayah sendiri harus rela melepaskan ‘anak’ yang ia asuh bertahun-tahun.
Dari judul dan deretan posternya saja, Panggil Aku Ayah sudah jelas akan memancing air mata. Ditambah lagi Ringgo yang sudah berpengalaman memerankan karakter Abah di film dan series Keluarga Cemara. Surprisingly, Panggil Aku Ayah benar-benar fresh dalam mengantarkan cerita. Tidak terlalu terasa sebagai film adaptasi luar, karena latar dan karakternya kental unsur kedaerahan. Dialog Ringgo dan Boris Bokir yang sering bersahutan juga terasa seamless. Celetukan dan humornya lancar, logat Sunda-nya pun kental. Bahkan di beberapa dialog, terasa sekali ada improvisasi.
Dari segi teknis dan detail produksi, Panggil Aku Ayah juga patut diapresiasi. Mulai dari wardrobe, semua benda yang dipakai dan diperlihatkan, sampai lingkungan dan area sekitar, terlihat sekali suasana era 90-an. Color palette tidak dibuat terlalu ‘kuning’ agar kelihatan jadul, namun didukung dengan apa adanya gambar dan sisi artistik lain. Penempatan music score juga ikut mendukung jalan cerita, bukan memaksa penonton merasakan emosi tertentu. Tapi yang jadi highlight di sepanjang film jelas hadirnya Myesha Lin sebagai Intan alias Pacil.
Aktingnya menggemaskan dan natural, tidak seperti didikte atau menghapal dialog. Myesha sebagai Gen Alpha juga bisa terlihat menyatu dengan segala ke-jadul-an yang ada di film. Tak lupa gestur serta caranya ngambek, marah, dan berbicara sebagai Pacil benar-benar mewakili rewelnya anak seumuran. Lucunya membuat gemas, saat di situasi tidak menyenangkan pun bisa memunculkan empati di dalam hati. Membuat kita membayangkan, mungkin saja ada banyak anak kecil yang mengalami nasib seperti Pacil. Bisa juga menjadi teguran halus terutama untuk orang dewasa, tentang bagaimana tiap keputusan harus diiringi tanggung jawab dan bukan sekadar mengikuti emosi dan ego dalam diri.
Sayangnya, menjelang akhir, plot Panggil Aku Ayah justru menurun. Sedihnya justru berkurang, terutama saat Intan harus berhadapan dengan realita. Rasanya seperti melihat alur sinetron yang serba dadakan. Dramatis, tapi kurang dieksplor emosinya. Sehingga rasa cinta penonton yang sudah dipupuk sejak awal tidak bisa ‘tumpah’ di adegan klimaks.
Panggil Aku Ayah memang mengusung formula paten film drama Korea, ada komedinya, ada lucunya, ada juga sedihnya. Sama seperti Pawn yang berhasil meng-highlight hubungan bapak anak dan membuat aktris Park So Yi melambung namanya, Panggil Aku Ayah juga bisa menjadi titik penting untuk karier akting Myesha Lin. Tapi satu yang perlu diingat, meski dibintangi aktris cilik, film ini tidak terlalu direkomendasikan untuk anak di bawah usia 13 tahun. Ada beberapa kata kasar dan juga adegan yang cukup mengerikan untuk ditonton anak-anak.