Perjuangan Kartini dalam mendobrak tatanan yang melarang wanita mendapat pendidikan setara dengan kaum laki-laki pada masanya.
Setiap
tanggal 21 April, masyarakat merayakan Hari Kartini. Hari yang identik dengan
perjuangan kaum wanita ini kerap dirayakan berbagai sekolah dengan berpakaian
daerah ataupun para perusahaan mengharuskan para pegawai wanitanya berbaju
kebaya. Namun, merayakan perjuangan sosok Kartini tentu saja lebih dari sekadar
berdandan ala Jawa atau menggunakan busana adat masing-masing wilayah. Kartini
adalah simbol kesetaraan wanita dalam hal pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa
melupakan bakti dan tradisinya terhadap masyarakat mereka berdiam. Itulah yang
saya tangkap tertuang dalam film Kartini
produksi Legacy Pictures.
Kartini rupanya tidak hanya menyorot
pada sekolah yang dibangun anak Bupati Jepara tersebut untuk mencerdaskan
wanita-wanita Jawa. Tapi, perkembangan ide dan pemikirannya bisa membuat beliau
memutuskan bahwa pendidikan penting untuk seorang wanita Jawa yang di masanya
hanya mengenal kata ‘menikah’. Buku pun digambarkan sebagai hal yang sakral
dalam film ini karena dapat membawa seseorang keluar dari kungkungan
lingkungannya. Semua itu dituangkan secara unik lewat perpindahan adegan dari
yang semula di dalam kamar lalu berada di dataran luas.
Meski
Dian Sastrowardoyo tidak lemah dalam memerankan Kartini, namun menurut saya
yang benar-benar mencuri perhatian adalah Deddy Sutomo, Christine Hakim, dan
Djenar Maesa Ayu. Ketiganya penuh emosi dalam memainkan peran masing-masing.
Bahkan, mata Christine Hakim yang
berkaca-kaca sebagai Yu Ngasirah mampu menyuarakan kepedihan hatinya tanpa
perlu banyak dialog.
Sayang,
akting Dian sesekali masih mengingatkan saya dengan karakter Cinta yang memang
sudah lekat di dirinya. Saat Kartini menjadi sosok yang rebel atau penuh rasa penasaran terhadap berbagai hal. Sayang, Reza
Rahadian dan Adinia Wirasti hanya tampil sekilas meskipun karakter keduanya
bisa dikatakan penting.
Tata artistik
pun juga menjadi salah satu hal yang saya acungi jempol karena begitu detail
dengan nuansa dan benda-benda ala Jawa. Departemen kostum juga menarik karena
berhasil menghadirkan perbedaan kebaya yang dipakai oleh pembantu dengan kebaya
yang dipakai oleh Raden Ajeng. Namun, kekurangan justru sedikit terasa di
sektor musik yang kadang terlalu keras sehingga agak mengganggu.
Tapi,
secara keseluruhan, film Kartini jelas
sebuah biopik yang berbeda dan membuka mata perempuan-perempuan muda Indonesia
bahwa kebebasan yang mereka dapat sekarang ini bukan diperoleh tanpa
perjuangan.
Beli
tiket di bioskop juga kadang perlu perjuangan, terutama untuk film-film yang
ramai penonton seperti Kartini ini.
Tapi, sekarang nggak perlu antri lagi karena ada aplikasi Go-Tix by Go-Jek yang bisa
bantu pembelian tiket apa pun. Kita cukup duduk manis, ambil ponsel, buka
aplikasi, dan pesan tiket yang kita mau. Nggak perlu antri, bisa pilih kursi sendiri, dan yang pasti nggak perlu ribet harus buka komputer karena bisa dilakukan dari ponsel di mana saja dan kapan saja.