Kisah cinta dua insan di tengah industri kretek dan kacaunya dunia politik Indonesia 1960-an.
Serial adaptasi novel Ratih Kumala, Gadis Kretek, sudah bisa disaksikan di Netflix. Menghadirkan lima episode, Gadis Kretek disutradarai Ifa Isfansyah dan Kamila Andini serta menghadirkan deretan aktor dan aktris yang namanya sudah tidak perlu diragukan lagi di dunia akting, seperti Dian Sastro, Ario Bayu, Arya Saloka, Putri Marino, Ibnu Djamil, Verdy Solaiman, Sheila Dara, Tissa Biani, Rukman Rosadi, Sha Ine Febriyanti, Nungki Kusumastuti, Tutie Kirana, Whani Darmawan, dan masih banyak lagi.
Gadis Kretek berkisah tentang Dasiyah, atau Jeng Yah, seorang gadis muda yang mencintai dunia kretek, namun terpaksa memendam itu semua dan hanya berkutat di bagian administrasi pabrik kretek milik ayahnya. Pada tahun 1960-an, produksi kretek lokal sedang menjamur, tapi perempuan dilarang ikut campur untuk urusan mencampur saus (perasa) karena dianggap dapat membuat rasa kretek menjadi asam. Di tengah usahanya berjuang untuk bisa diterima di industri kretek, Jeng Yah berkenalan dengan Soeraja, seorang pemuda yang dipekerjakan ayahnya setelah babak belur dihajar preman-preman pasar. Cerita cinta mereka dengan cepat berkembang di antara daun tembakau dan saus-saus yang diracik diam-diam. Namun, sebuah kejadian di tahun 1965 memisahkan jalan hidup dua anak muda ini.
Bisa dibilang, serial ini merupakan adaptasi lepas dari novel Ratih Kumala karena kisahnya sendiri mengalami perubahan yang cukup signifikan meski tidak menghilangkan poin-poin utama di bukunya. Yang langsung terlihat adalah karakterisasi Jeng Yah. Di buku, ia digambarkan sebagai sosok yang tidak malu-malu mengungkapkan pendapatnya dan mendapat dukungan penuh oleh sang ayah dalam meracik saus. Sementara, di serialnya, Jeng Yah tampak dingin, pendiam, dan menjaga jarak. Keinginannya untuk terlibat dalam urusan saus pun ditentang dan diremehkan. Perubahan ini nantinya berdampak dengan kemunculan Kretek Gadis yang hanya disinggung secara singkat, padahal di bukunya cukup berperan besar.
Selain itu, sosok Idroes Moeria, ayah Jeng Yah, dalam bukunya juga mendapat porsi tersendiri dengan diceritakan dari awal saat membangun Kretek Merdeka hingga perseteruannya dengan Soejagad. Karena fokus serial lebih kepada Jeng Yah dan Soeraja, kisah cinta segitiga Idroes Moeria-Roemaisa-Soejagad pun hanya dihadirkan lewat dialog atau momen kecil. Di satu sisi, orang-orang yang sudah membaca bukunya dan berharap bisa melihat dunia Idroes Moeria terwujud mungkin akan sedikit kecewa. Tapi, di sisi lain, perubahan ini membawa perspektif baru terhadap dunia Dasiyah dan kretek yang melingkupinya.
Salah satu yang menarik adalah ditonjolkannya hubungan Arum dan Lebas sebagai "penjahit" dari cerita Dasiyah-Soeraja ini. Jika dalam bukunya Arum dan Lebas hanya dipertemukan di akhir, serial ini sudah mempertemukan mereka sejak awal. Dari merekalah, kisah masa lalu Jeng Yah mengalir dan disajikan ke penonton. Putri Marino dan Arya Saloka yang memerankan Arum dan Lebas juga berhasil menghadirkan chemistry yang membuat penonton tidak hanya tertarik pada kisah cinta Jeng Yah-Soeraja, tapi juga flirting-flirting kecil, pertengkaran, sampai perhatiannya sosok Lebas ke Arum atau sebaliknya. Ada beberapa momen manis yang bisa bikin kita kita senyum-senyum sendiri melihat interaksi keduanya.
Production value Gadis Kretek memang jauh di atas rata-rata. Set, prop, hingga wardrobe dipikirkan masak-masak. Hagai Pakan sukses memotret karakter Jeng Yah yang dingin dan menjaga jarak dari orang lain melalui kebaya-kebaya berwarna hitam dengan potongan kaku dan lurus, tidak seperti kebaya pada umumnya yang berlekuk di pinggang dan memiliki warna lembut atau cerah. Set dan propnya tentu membuat kita kagum bahwa sebuah drama sejarah buatan Indonesia bisa dihadirkan dengan sematang ini, mulai dari pabrik kretek, pasar, stasiun, hingga detail-detail kecil seperti koran, bungkus rokok, dan masih banyak lagi. Menonton Gadis Kretek sangat memanjakan mata.
Deretan cast-nya pun tidak main-main. Dian Sastro menjadi Jeng Yah yang meski cantik dan cerdas, tapi mengalami tentangan dari kaum pria untuk terlibat di dunia kretek. Ario Bayu tampil sebagai Soeraja yang jatuh cinta mati-matian dengan Jeng Yah, tapi terpaksa merelakan cintanya karena kondisi. Lalu, ada Rukman Rosadi dan Ine Sha Febriyanti yang memotret karakter Idroes Moeria dan Roemaisa, orangtua Jeng Yah, yang punya masa lalu sendiri. Arya Saloka dan Putri Marino sebagai "pencerita" di masa yang lebih modern juga membuat kita terhanyut dalam pencarian keduanya akan sejarah keluarga.
Kredit lebih pantas diberikan kepada Arya Saloka yang terasa natural dalam memerankan karakter Lebas. Hal itu diperkuat oleh interaksinya dengan Arum yang mengalir dan bikin gemas. Dari sorot matanya, kita tahu bahwa Lebas diam-diam menemukan hal lain dari diri Arum yang membuat pencariannya terhadap Jeng Yah bukan lagi keinginan untuk mewujudkan permintaan terakhir Romo, tapi juga jadi misi pribadi. Pasangan utama lain di film ini, Dian Sastro-Ario Bayu, memang tampil "perkasa" dengan aktingnya, namun entah kenapa terasa tidak nge-blend ke dalam karakter. Bahkan, hubungan keduanya terasa minim chemistry. Saat Soeraja menatap Jeng Yah, atau pun sebaliknya, kami tidak merasakan getaran bahwa sebegitu dalam cinta mereka berdua. Yang terasa hanyalah akting seorang Dian dan seorang Ario.
Tapi, apa pun kelebihan dan kekurangan Gadis Kretek, tidak bisa dipungkiri bahwa drama ini memang berbeda dan powerful dengan mencampur banyak tema, mulai dari industri kretek Indonesia pada masa itu, romansa, dan juga sejarah, khususnya pada tahun 1960-an. Salah satu serial Indonesia terbaik saat ini yang lahir dari kerja keras orang-orang di baliknya dan karya indah Ratih Kumala.