Andy Muschietti berhasil menjawab penantian fans selama ini.
Diperkenalkan pertama kali lewat Batman v Superman: Dawn of Justice kemudian berlanjut ke Justice League dan sempat muncul sekilas di Suicide Squad (2016), keinginan para penggemar untuk melihat The Flash tampil di film solonya sendiri ternyata mendapat banyak rintangan. Gonta-ganti sutradara dan penulis naskah membuat The Flash terjebak dalam development hell hingga akhirnya Andy Muschietti (ITPart 1 & Part 2) masuk sebagai sutradara dan Christina Hodson (Bumblebee) sebagai penulis naskah.
Seperti yang sudah disinggung dalam artikel kami (Enam Hal Penting yang Perlu Kamu Tahu Soal Film The Flash), bahwa film ini bukanlah asal-muasal Barry Allen mendapat kekuatannya. Garis waktu yang dipakai adalah beberapa tahun setelah Justice League melawan Steppenwolf dan mencegah kehancuran dunia. Karena itu, kita akan melihat Barry yang sudah lebih dewasa dan kini bekerja di bagian riset Central City. Kisah yang diambil pun adalah Flashpoint, sebuah event yang mengubah segalanya di dunia DC karena “ulah” Barry.
Pada saat mengemuka kabar bahwa Flashpoint akan menjadi sorotan utama di film solo pertama The Flash, fans segera terpecah. Ada yang setuju, tapi ada juga yang mencibir karena khawatir dengan penggambaran event besar ini yang tentunya dibatasi durasi sehingga akan banyak hal yang dipangkas. Jika dalam komiknya, Flashpoint adalah event besar sehingga dikisahkan melalui berseri-seri komik dan memengaruhi banyak dunia sehingga lahirlah The New 52, maka dalam filmnya, lebih disederhanakan lagi. Hal ini tentu saja langkah yang bagus mengingat tidak semua orang membaca komik The Flash dan mungkin hanya mengenal karakter ini dari serial TV-nya saja.
Sebagai otak di balik kisah Bumblebee, Hodson berhasil menghadirkan sebuah drama keluarga yang menyentuh, tapi tidak cengeng. Kita paham usaha Barry berusaha mati-matian memutar waktu demi mencegah kematian ibunya. Tapi, kita juga tahu bahwa di satu titik, Barry harus belajar merelakan agar dunianya bisa kembali seperti semula dan belajar bahwa semua yang kita lakukan di dunia ini pasti memiliki konsekuensinya, baik atau buruk.
Meski dibuat dengan tone yang lebih cerah, The Flash seakan menjadi mild tribute Muschietti kepada Zack Snyder. Musuh dari Man of Steel, kekuatan Speed Force Barry yang ada di Zack Snyder’s Justice League, hingga sosok Batman dan Alfred yang diambil dari Batman v Superman: Dawn of Justice. Bahkan, adegan saat Kara melayang dengan disinari cahaya matahari akan mengingatkan kita saat Superman pertama kali terbang keluar Bumi dan melihat matahari dalam Man of Steel.
Michael Keaton yang kembali sebagai Batman memang patut diacungi jempol. Meski jelas sudah terlihat menua, tapi karismanya sebagai si manusia kelelawar masih sangat terasa. Sasha Calle sebagai Kara Zor-el juga tampil tidak mengecewakan. Seandainya reset tidak terjadi, tentu para fans akan senang kalau Kara dan Wonder Woman suatu saat bisa bekerja sama. Namun, jelas bintang utama film ini adalah Ezra Miller sendiri. Dipilih langsung oleh Snyder untuk memerankan “The Fastest Man on Planet” di Batman v Superman: Dawn of Justice, Miller memperlihatkan bahwa dia bukan aktor sembarangan.
Harus memerankan dua karakter Barry Allen dari dua lini waktu yang berbeda dengan dua sifat yang juga bertolak-belakang sukses dilakukannya. Di satu sisi, Miller harus tampil dewasa karena tahu bahwa masa depan tidak secerah kelihatannya, tapi di sisi lain, harus tampil kekanak-kanakkan karena merasa bahwa hidupnya berjalan baik-baik saja. Jika reset yang dilakukan James Gunn berpengaruh kepada The Flash, maka rasanya sulit mencari aktor yang bisa menyamai Miller, seperti halnya sulit mencari pengganti Gal Gadot sebagai Wonder Woman.
Meski bisa dibilang cukup berhasil dari segi pemilihan pemain dan cerita, namun efek CGI yang ada di beberapa adegan sangat kentara. Misalnya, wajah-wajah yang muncul saat The Flash berada di dalam chronobowl untuk memutar balik waktu. Rasanya seperti menyaksikan film Beowulf atau The Polar Express. Entah apa alasan tim produksi menampilkan CGI sekasar itu. Apa ingin menunjukkan bahwa saking semua dunia bercampur-aduk saat Barry berlari sehingga orang-orang jadi kelihatan tidak nyata?
The Flash mungkin memang bukan sebuah film superhero yang sempurna. Tapi, bagi para penggemarnya, bisa jadi inilah jawaban dari penantian mereka selama ini. Terjebak dalam development hell tidak selalu berarti buruk asalkan memilih sutradara dan cerita yang pas dan itu yang terjadi dengan The Flash. Jangan lewatkan juga cameo-cameo yang bikin kita bertepuk tangan riuh atau after credit scene di ujung film yang menghibur.