Gundala: Keren Sebagai Pembuka Jagat, Memble Sebagai Film Stand Alone

by Prima Taufik

Gundala: Keren Sebagai Pembuka Jagat, Memble Sebagai Film Stand Alone
EDITOR'S RATING    

Ambisius, tapi tidak fokus

Proyek Gundala ini sejatinya sudah digaungkan sejak lama sebelum akhirnya dipegang Joko Anwar, Hanung sudah digadang-gadang bakal membesut film berdasarkan karakter Hasmi ini, bahkan teaser-nya pun sudah sempat muncul. Namun, akhirnya Joko-lah yang menangani Gundala dan membuka gerbang ke Jagat Bumilangit. Bahkan, mereka sudah mengumumkan siapa saja aktor yang akan bermain di Jagat ini dalam lima tahun ke depan. Gundala sebagai film pembuka memiliki beban yang berat karena jika gagal bukan tidak mungkin kepercayaan publik pada Semesta Bumi Langit bisa runtuh. 

Abimana Aryasatya sebagai Gundala memang bukan pilihan yang jelek, tetapi di film ini aktingnya bahkan kalah dari Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan). Abimana tampak datar dan kurang menampilkan emosi pada kejadian yang ada di sekitarnya. Padahal, jika melihat Sancaka kecil yang hidup keras, harusnya ada sisa-sisa kepedihan terlihat pada Sancaka dewasa walau hidupnya lebih teratur. Namun, Sancaka dewasa datar-datar saja menghadapi hidupnya walau hidupnya sudah terancam berkali-kali.

Yang membingungkan dari Gundala ini adalah plot penjahatnya yang berlapis-lapis. Pengkor (Bront Palarae) dari awal sudah terlihat jika ia penjahat, namun Joko memberinya latar belakang yang berbelit-belit dan rencana jahat yang memusingkan sehingga penonton sulit menangkap apa sebenarnya yang diincar oleh Pengkor. Penonton dari awal sudah tahu jika ia penjahat. Akan lebih mudah jika ia memang tampak jahat dari awal dan plot kejahatannya jelas, lagipula Joko sudah menyisipkan subplot Ghazul (Ario Bayu) ke dalam cerita.


Sebagai pahlawan pembuka Jagat Sinema Bumi Langit, tentu Gundala bisa berkaca pada dunia luar bagaimana mengembangkan shared universe mereka. Contoh Iron Man, film pembuka Marvel Cinematic Universe ini hanya fokus pada Iron Man tanpa peduli embel-embel shared universe selain adegan 1 menit di ujung credit title. Sementara, Gundala sudah terlalu banyak memasukkan elemen universe-nya sampai lupa untuk fokus pada karakter Gundala itu sendiri. Hasilnya, penonton tidak relate sama sekali dengan karakternya dan tidak merasa terbawa saat Gundala ber-progress seiring film. Bahkan, pada momen-momen tertentu yang bisa membuat para penikmat film superhero tercengang, momen itu berlangsung datar-datar saja.

Kita sudah punya tim koreografi aksi mendunia seperti milik Iko dengan Uwais Team-nya atau Yayan Ruhiyan. Dengan bujet besar dari penyokong dananya, setidaknya Gundala bisa menggunakan pemeran figuran yang sudah jago beladiri. Koreografi pertarungan di Gundala terlihat lambat dan terasa sekali jika setiap gerakannya terkoreografi, seperti rehearsal yang belum beres. Sayangnya, ini sangat terasa justru di bagian-bagian akhir, di mana Gundala harus berhadapan dengan banyak musuh. Kentara sekali saling menunggunya.


Sebagai film yang berdiri sendiri, Gundala tampak kewalahan dengan banyaknya elemen yang harus masuk untuk pembuatan elemen semestanya, tetapi sebagai pembuka Jagat Sinema Bumi Langit, film ini sangat kaya akan elemen-elemen yang menarik untuk film-film Bumi Langit ke depannya. Beberapa jika disebutkan akan menjadi spoiler, maka lebih baik kalian lihat sendiri di bioskop. Selain itu, penggunaan CG yang sangat minimalis membuat kita masih bisa percaya jika tokoh Gundala ini sangat mungkin ada. Shot-shot-nya juga banyak sekali yang cantik ditambah tone warna suram untuk menggambarkan negeri yang kacau.

Gundala bukanlah karya terbaik Joko, tapi film ini juga tidak sepenuhnya mengecewakan. Tontonlah tanpa ekspektasi apa-apa malah membuat kalian bisa puas. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, Gundala tetaplah harus kita apresiasi sebagai pembuka genre superhero di Indonesia. Tentunya, film ini tetap membuat kami antusias untuk menanti film-film Jagat Sinema Bumi Langit selanjutnya.