Sri Asih tampil memukau, tapi masih butuh perbaikan di sana-sini
Sri Asih jadi film kedua Jagat Sinema Bumilangit setelah Gundala. Sempat muncul sekilas di Gundala, kini Sri Asih mendapat filmnya sendiri yang mengisahkan asal-muasal original superhero wanita Indonesia ini.
Meski tidak dijelaskan, tapi kita bisa menduga bahwa liniwaktu Sri Asih nyaris sama dengan Gundala. Menceritakan tentang Alana yang kehilangan orangtuanya saat masih kecil dan tinggal di panti asuhan. Untung, ada Ibu Sarita yang mengangkat Alana menjadi anak asuh dan mengajarinya ilmu bela diri. Suatu kejadian membawa Alana mengetahui siapa dia yang sebenarnya, yaitu keturunan Dewi Asih. Dengan kekuatan baru yang didapatnya, Alana harus siap memerangi sebuah kelompok dengan agenda jahat yang bisa menghancurkan dunia.
Superhero wanita Indonesia di layar lebar tentu jadi angin segar di perfilman Tanah Air yang kebanyakan didominasi drama dan horor. Kemunculan film Sri Asih ini memang bisa jadi salah satu pilihan di tengah maraknya film horor. Kita diajak untuk mengenal pahlawan lokal yang dulu mungkin digemari orangtua kita, tapi dengan kemasan yang kekinian. Pemilihan Pevita Pearce sebagai Sri Asih juga cukup pas karena bisa jadi daya tarik untuk anak muda sekarang lebih mengenal sosok ini dan berhasil menampilkan karakter perempuan yang kuat dan percaya diri.
Dibandingkan Gundala, jalan cerita Sri Asih tidak terlalu kelam dan sedikit lebih ringan. Namun, masih tetap menyinggung pihak-pihak berwenang yang korup dan penindasan terhadap rakyat kecil. Ciri khas Joko Anwar yang di Sri Asih bertugas menjadi penulis naskah bersama dengan Upi. Tidak ada serum atau obat-obatan yang membingungkan seperti Gundala, hanya pengusaha jahat yang benci dengan orang miskin dan ingin membinasakan mereka. Mudah dicerna pastinya.
Sayangnya, meski ini adalah kisah asal-usul Sri Asih, tapi banyak bagian hidup Alana yang tidak dijelaskan. Misalnya, Alana diminta Ibu Sarita untuk mengontrol amarahnya karena itu bisa berbahaya saat dia bertarung. Tapi, tidak dijelaskan apa yang membuat Alana begitu marah hingga membahayakan dirinya. Pengembangan karakter Alana pun seakan berhenti setelah dia menjadi Sri Asih. Tidak ada rasa bingung, panik, atau terbebani saat harus berubah dari gadis yang hidupnya biasa-biasa saja menjadi sosok penyelamat dunia.
Selain itu, yang sedikit mengganggu adalah adegan pertarungannya. Seperti Gundala, pertarungan yang dilakukan Sri Asih tidak luwes dan tampak terkoreografi. Para penjahat meski datang bergerombol, tidak lantas menyerang sekaligus, tapi maju satu per satu. Masing-masing terlihat menunggu lawannya jatuh, barulah maju untuk menyerang. Bahkan, ada satu momen saat Sri Asih berhenti untuk berpose sepersekian detik di tengah pertarungan. Tidak fatal, tapi jelas yang jeli akan merasa sedikit aneh. Mungkin, pergerakan kamera yang dinamis bisa menutupi semua itu.
Sri Asih sepertinya belajar dari kekurangan Gundala dan membuat film yang temanya lebih bisa diterima semua kalangan. Namun, sebagai film kedua BCU, tentu masih banyak yang perlu dibenahi, terutama dari sektor aksi sehingga nantinya, saat film pamungkas melawan villain utama rilis, semua orang bisa bertepuk tangan dengan puas.