Pelukis Hantu: Nggak Terlalu Banyak Micin, Banyolan Stand Up Malah Bikin Pas

by Takdir

Pelukis Hantu: Nggak Terlalu Banyak Micin, Banyolan Stand Up Malah Bikin Pas
EDITOR'S RATING    

Paket lengkap drama, komedi, dan sedikit sentilan politik

Saat pandemi seperti ini, kita memang butuh film yang menghibur dan tidak membuat pikiran jadi tambah mumet, Pelukis Hantu bisa jadi salah satunya. Walau judulnya klise, tetapi film horor-komedi yang disutradarai Arie Kriting ini adalah paket lengkap ditambah bumbu drama dan sedikit twist sosial-politik yang dikemas dengan pas. Filmnya cukup menghibur dan tidak memaksakan diri menjadi film super lucu atau film yang penuh lelucon ala metropolitan.

Pelukis Hantu bercerita mengenai seorang pemuda bernama Tutur (Ge Pamungkas) seorang pelukis amatir yang menerima tawaran menjadi pelukis hantu di sebuah acara televisi. Acara televisi ini mirip dengan yang sering kita saksikan di dunia nyata, yakni acara berbau supranatural dan klenik dengan bintang tamu orang sakti yang mampu berkomunikasi dengan dunia gaib. Bahkan ada stand up komedian David Nurbianto menjadi cameo Rio Kiyoshi. Sudah terbayang kocaknya, kan? Acara televisi yang hanya mementingkan rating dengan pembawa acara yang aneh ini mengingatkan juga dengan film Pretty Boys tahun lalu yang menyindir acara talk show artis di televisi.


Ternyata Tutur benar-benar bisa melihat makhluk halus ketika melukis sambil matanya ditutup. Hal ini membuka misteri baru dari kehidupan Tutur, sebuah rahasia yang dia tidak pernah ketahui sebelumnya, apakah itu? Akan merusak kenikmatan menonton jika sudah tahu duluan. Yang jelas paruh kedua film ini sangat relevan dengan sejarah Indonesia, khususnya masa reformasi.

Bisa dikatakan sebagian besar film Indonesia yang menghadirkan para alumni stand up comedy umumnya menghadirkan lelucon terlalu berlebihan dalam film drama, tetapi dalam film yang tayang di Disney Plus Hotstar ini tidak, semuanya terasa pas. Tidak ada karakter pendukung yang kalau adegan banyolannya dihapus tidak mengganggu cerita sehingga fokus cerita tidak melebar kemana-mana. Terasa terlalu aneh bukan kalau film drama terlalu banyak karakter pendukung yang hanya membanyol tanpa henti, tetapi tidak ada hubungannya dengan cerita utama?


Dari segi akting, Ge sebagai pemeran utama cukup baik. Dia tidak berusaha terlihat sok asik sok keren atau bahkan tidak berusaha terlalu banyak melucu layaknya stand-up comedian di panggung. Lalu, ini adalah film horor pertama Michelle Ziudith yang biasanya berperan dalam film-film drama romantis. Dalam film ini, dia memerankan Amanda, seorang wanita yang gemar pada hal spiritual. Walau sebenarnya profesi Amanda yang menjadi blogger dunia spiritual seolah tempelan saja agar terlihat cocok dengan perjuangan Tutur dalam melukis hantu dan supaya film ini tidak terlalu kering memajang kaum pria pelakon stand-up comedy saja. Untungnya karakter Amanda dan Tutur tidak pacaran di akhir film layaknya kebanyakan film-film Hollywood. Kalau itu kejadian, ya sudah deh jadi klise.

Nama-nama karakter dalam film ini juga terasa “alami” bukan nama-nama dibarat-baratkan atau disastra-sastrakan supaya terdengar berbobot. Memang di Indonesia nama Tutur, Asep, Robi, Dadang, Abdul adalah nama yang umum. Apalagi menyoal klenik yang masih budaya kita, film ini tidak menjual “jump scare” atau hantu yang muncul di kamar mandi.  Apalagi sindiran pada acara televisi berbau klenik yang dianggap sebagai “settingan” cukup relevan. Ingat, budaya kita itu kuntilanak, genderuwo dan roh jahat, bukan robot android cerdas, luar angkasa, atau sci-fi.