Sewu Dino: Film Pembuka 'Trah Pitu Lakon' yang Butuh Perbaikan

by

Sewu Dino: Film Pembuka 'Trah Pitu Lakon' yang Butuh Perbaikan
EDITOR'S RATING    

Film pembuka saga santet ini lumayan, tapi masih perlu perbaikan.

Setelah sukses dengan KKN di Desa Penari, MD Pictures kembali lagi mengadaptasi thread karya Simple Man, Sewu Dino. Sewu Dino yang dalam bahasa Indonesia artinya '1000 Hari' mengisahkan santet 1000 hari yang membuat Dela Atmojo bagaikan mayat hidup dan membahayakan siapa pun yang berada di dekatnya. Jajaran pemain bintang mengisi karya terbaru Kimo Stamboel ini, di antaranya Mikha Tambayong, Agla Artalidia, Rio Dewanto, Marthino Lio, Karina Suwandi, Givina, dan Gisellma Firmansyah. 

Thread Sewu Dino yang dibuat Simple Man memang tidaklah seviral KKN di Desa Penari. Namun, dari segi cerita, semesta Sewu Dino jauh lebih luas dari KKN karena berlanjut ke buku Janur Ireng dan Ranjat Kembang. Selain itu, ada beberapa cerita pelengkap yang menjelaskan dunia tujuh trah ini, seperti Lemah Layat dan Padusan Pituh. Jadi, secara cerita, Sewu Dino jelas lebih kompleks dari KKN


Dengan cerita yang luas tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Kimo Stamboel dan tim penulis naskah untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Dengan banyaknya karakter dan kejadian, Sewu Dino haruslah menjadi film pembuka yang sanggup mengundang rasa ketertarikan penonton untuk menikmati film-film selanjutnya. Untuk itu, tidak heran, banyak yang berkomentar bahwa film ini membuang beberapa bagian dari thread-nya. Tapi, keputusan ini terasa tepat karena membuat ceritanya jadi lebih runut. Selain itu, penanda waktu dalam Sewu Dino membuat penonton bisa menyusun timeline kejadian dalam benak mereka. Berbeda dengan KKN di Desa Penari yang tidak jelas urutan kejadiannya sehingga agak membingungkan.

Salah satu hal yang membuat sebagian orang kurang nyaman saat menonton film ini adalah sound dan bahasanya. Sound memang agak menghentak di awal dan cukup memekakkan telinga, tapi memasuki pertengahan hingga akhir, sudah lebih "manusiawi". Kimo tahu bagian mana yang harus dibuat sunyi, bagian mana yang butuh musik. Sementara, untuk mereka yang paham bahasa Jawa, mendengar dialog para pemainnya yang campur-aduk mungkin terasa mengganggu. 


Tapi, selain dua itu, masih ada kekurangan lainnya, yaitu dari sisi akting. Mikha dan Agla tampak salah peran sebagai gadis desa. Gaya dan tampang mereka masih terlalu "anak kota" untuk berperan sebagai gadis desa yang lugu. Terutama Mikha Tambayong, yang entah kenapa aktingnya di sini seperti malas-malasan dan tidak punya gestur yang "ndeso". Jika banyak yang berkomentar bahwa Rio dan Marthino Lio tidak banyak fungsinya di sini, itu bisa dimaklumi. Jika jadi dibuat, maka peran mereka di sekuel Janur Ireng barulah terlihat jelas.

Meski Sewu Dino mungkin tidak akan mencapai jumlah penonton sebesar KKN di Desa Penari, tapi jelas ini salah satu film horor Indonesia yang patut dilanjutkan sekuelnya. Cerita tentang Trah Atmojo belum berakhir dan kalau digarap dengan lebih baik lagi, akan jadi salah satu saga horor berkualitas di Indonesia.