Film anak sekolah yang tidak biasa.
Tahun lalu, Joko Anwar mengumumkan empat proyek barunya yang digarap rumah produksinya, Come and See Pictures. Di antaranya, ada Pengepungan di Bukit Duri yang proses pembuatannya sudah digodok 17 tahun. Semakin menarik karena ini adalah film pertama dari Asia Tenggara yang diproduksi bersama Amazon MGM Studios. Kekerasan remaja jadi plot utama, plus menggandeng Morgan Oey dan Omara Esteghlal sebagai duet maut protagonis dan antagonis yang menjanjikan.
Pengepungan di Bukit Duri dibuka dengan adegan kerusuhan di tahun 2009, saat Edwin remaja (Millo Taslim) dan sang kakak Silvi (Sheila Kusnadi) pulang sekolah. Penggambarannya persis seperti kerusuhan hebat yang terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta, pada Mei 1998. Semua barang pertokoan dijarah, rumah orang Tionghoa dibakar, dan perempuan diperkosa di pinggir jalan. Peristiwa traumatis itu digambarkan dengan detail di dalam film.
Belasan tahun kemudian, di tahun 2027 saat orang Tionghoa semakin dibenci, Edwin dewasa (Morgan Oey) bekerja sebagai guru pengganti di SMA Duri. Sekolah ini punya reputasi buruk, hanya anak-anak buangan yang bersekolah di sana. Dari sekian banyak murid, ada Jefri (Omara Esteghlal) yang paling beringas, paling emosian, dan tidak kenal ampun. Siapa saja bisa kena hajar dan hilang nyawa, apalagi jika lawannya keturunan Tionghoa. Tanpa gentar, Edwin tetap memutuskan mengajar di sana karena niatnya satu: mencari keponakannya, yang menurut mendiang kakaknya, kini bersekolah di Jakarta sebagai siswa SMA.
Bukan Joko Anwar namanya kalau tidak menyisipkan kritik sosial ke dalam plot cerita. Kali ini, mumpung film yang diangkat berlatar pendidikan dan menyorot peristiwa asli yang terjadi di Indonesia, rasa getirnya benar-benar terasa. Banyak hal pahit yang bisa jadi trigger trauma dan bahan diskusi yang lebih mendalam. Bobroknya sistem pendidikan yang mengkotak-kotakkan murid, kekerasan remaja yang mengakar sejak dulu, tidak adanya empati yang tertanam dalam diri manusia, sampai berbagai peristiwa buruk yang ditakutkan terjadi (lagi) di negara Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Sepanjang film diputar, penonton dihadapkan dengan banyak adegan brutal plus dialog kasar yang diucapkan hampir semua karakter, apalagi di SMA Duri yang notabene berisi anak-anak buangan. Tanpa filter, tanpa basa-basi, adegan action terlihat raw, tidak seperti ‘hafalan’ gerakan namun pure seperti amukan anak remaja yang emosinya meluap tanpa kontrol. Sungguh terasa sekali kacau dan sadisnya. Suasana gelap ala negara distopia juga ditampilkan secara sempurna. Apresiasi tinggi patut diberikan ke tim produksi yang berhasil menciptakan ‘Indonesia’ yang bobrok, suram, dan mencekam. Kaum berseragam terlihat nyaman dan elit, sementara warga lainnya saling curiga dan siap menerkam satu sama lain. Tanpa perlu banyak dialog, cukup dengan sorot mata sayu, pakaian lusuh, dan langkah yang tidak bersemangat, memperlihatkan bagaimana kondisi ‘dunia’ yang dijalani.
Soal akting, jelas penampilan Morgan dan Omara jadi highlight utama. Ada satu adegan menonjol saat keduanya berhadapan secara dekat sambil memperlihatkan kuatnya emosi yang dibawa satu sama lain. Penampilan Endy Arfian dan Fatih Unru juga patut diacungi jempol, termasuk Hana Malasan yang berperan sebagai guru BK dan ‘Geng Jefri’ lainnya yang dibintangi Satine Zaneta, Dewa Dayana, Faris Fajar Munggaran, Florian Rutters, Farandika, Raihan Khan, dan Sandy Pradana. Emosi meluap khas remaja rebel yang kemudian berganti jadi remaja rapuh yang mempertanyakan pilihan hidup ditampilkan dengan cukup dramatis.
Faktor lain yang mendukung mood cerita di sepanjang durasi 1 jam 58 menit Pengepungan di Bukit Duri adalah pilihan lagu yang dimunculkan. Mulai dari “Terima Kasih Guruku” yang entah kenapa jadi terasa eerie, “Nuansa Bening” yang rusuh, sampai lagu paduan suara “Di Timur Matahari” yang membuat perasaan hati jadi teriris. Dari segi visual, detail yang ditampilkan di karakter Edwin jelas paling berkesan. Bagaimana di awal wajahnya ditutupi abu, tapi di akhir film justru berlumur darah. Jika dicari kurangnya di mana, mungkin penggunaan judul saja yang kurang pas. Situasi yang dihadapi karakter Edwin bukanlah ‘pengepungan’ besar-besaran atau dikeroyok murid satu sekolah, melainkan ‘terjebak’ di situasi sulit antara tetap bertahan hidup atau ‘mati konyol’ di tangan pribumi yang marah.
Secara keseluruhan, Pengepungan di Bukit Duri adalah film yang patut diapresiasi keberaniannya karena berhasil dan mampu mengangkat isu paling penting di negara kita, yaitu pendidikan. Tidak cuma soal pendidikan di sekolah, tapi juga pendidikan karakter di rumah. Banyak akar permasalahan di masyarakat yang semuanya bisa dibenahi asalkan kita memperlakukan generasi muda dengan baik, penuh empati, dan membuka diri untuk diskusi. Karena, generasi muda bukanlah kalangan yang susah diatur atau mau menang sendiri.
Satu lagi yang patut diingat, film ini memiliki rating 17+ karena di samping banyak elemen kekerasan, ketegangan rasial, dan adegan brutal, dialognya pun sangat kasar dan berulang. Oh iya, jangan terlambat masuk teater karena munculnya satu karakter di ending Pengepungan di Bukit Duri ini baru akan terasa ‘klik’ jika kita menonton film ini dari menit pertama.